BABAD TULUNGAGUNG
2. ASAL MULA NAMA TULUNGAGUNG
Sejarah menyatakan, bahwa nama
TULUNGAGUNG tidaklah timbul dengan tiba-tiba. Telah banyak musim silih
berganti, berikut masa-masa yang dilampauinya, yang kesemuanya itu
meninggalkan kenang-kenangan yang tersendiri di dalam lembaran riwayat
terjadinya kota Tulungagung. Apa yang dapat kita kenangkan dari nama
TULUNGAGUNG di dalam riwayat lama, sebenarnya adalah suatu tempat
lingkaran yang berpusat pada sekitar alun-alun termasuk desa Kauman dan
Kampungdalem.
Tulungagung berasal dari dua perkataan : TULUNG dan AGUNG. Kata TULUNG mempunyai dua arti :
Pertama : TULUNG dalam bahasa Sanskerta artinya SUMBER AIR atau dalam
bahasa bahasa Jawa dapat dikatakan umbul.
Kedua : TULUNG yang berarti pemberian pertolongan atau bantuan.
Adapun : AGUNG berarti besar.
Jadi lengkapnya TULUNGAGUNG mempunyai arti “SUMBER AIR BESAR” dan “PERTOLONGAN BESAR”.
Meskipun SUMBER AIR, dan PERTOLONGAN itu
berlainan artinya, namun di dalam sejarah Tulungagung kedua-duanya tak
dapat dipisahkan, karena mempunyai hubungan erat sekali dalam soal asal
mula terbentuknya daerah maupun perkembangannya.
Dahulu orang menyebutnya Kabupaten
Ngrowo, ialah sesuai dengan keadaan daerahnya yang berupa rawa-rawa.
Lalu lintas perhubungan dilakukan melalui sungai, terutama lewat sungai
yang hingga sekarang masih disebut sungai Ngrowo. Oleh sebab itu
tidaklah mengherankan bila letak daerah-daerah yang disebut-sebut orang
dalam sejarah maupun cerita-cerita rakyat kesemuanya tidak jauh letaknya
dari sungai, misalnya : Gledug, Pacet, Waung, Ketandan, Tawing, dan
lain-lain. Sebelum dijadikan Kabupaten daerah-daerah itu dikuasai oleh
para Tumenggung di bawah perlindungan kerajaan Mataram.
Di daerah Ngrowo terdapat banyak
sumber-sumber air. Diantara sumber-submer itu yang termasuk besar atau
agung airnya ialah tempat dimana sekarang sudah menjadi alun-alun.
Tempat di sekitar alun-alun ini dinamakan Tulungagung yang berarti ada
sumber air yang besar.
Dahulu daerah Ngrowo itu tidak seluas
sekarang. Semenjak ketemenggungan diubah kedudukannya menjadi Kabupaten,
maka diperlukan adanya perluasan daerah. Tidak cukup hanya terdiri dari
rawa-rawa saja, tetapi membutuhkan pula daratan untuk kemakmuran
masyarakatnya.
Bantuan-bantuan dari Kabupaten sekitarnya
sangat dibutuhkan. Ini terjadi pada sekitar abad ke-19. Kabupaten
Blitar menyumbangkan daerah Ngunut. Kabupaten Ponorogo menyumbang daerah
pegunungan Tranggalih atau Trenggalek sekarang, sedang Kabupaten
Pacitan memberikan daerah pantai selatan, ialah Ngrajun, Panggul, Prigi,
dan Jombok. Dengan demikian Kabupaten Ngrowo dahulu daerahnya meliputi
pula daerah Kabupaten Tenggalek. Bantuan berupa daerah itu merupakan
pertolongan yang besar bagi pembentukan Kabupaten Ngrowo. Bupati pertama
hingga ke XI masih disebut Bupati Ngrowo. Baru pada tahun 1901 nama
Ngrowo itu diganti dengan TULUNGAGUNG. Ketika itu yang menjadi bupatinya
R.T. Partowidjojo. Beliau yang menyaksikan perubahan nama tadi karena
menjabat Bupati sejak tahun 1896 hingga tahun 1901.
Demikianlah asal mula TULUNGAGUNG yang
hingga sekarang masih pula sering disebut orang kota Banjir. TULUNGAGUNG
mengandung makna “Berasal dari SUMBER AIR YANG BESAR”, tetapi dengan
usaha dan bantuan yang besar dapat pula memberi pertolongan yang besar.
3. RIWAYAT TERJADINYA ALUN-ALUN TULUNGAGUNG
Semenjak daerah-daerah ketemenggungan
digabungkan menjadi satu untuk dibentuk suatu Kabupaten, maka Kota
Ngrowo membutuhkan tempat kediaman Bupati dan alun-alun. Pertama-tama
dibangun di Kalangbret, kemudian di Ringinpitu. Tetapi karena tidak
adanya kesatuan pendapat dari para Tumenggung, maka pembangunan di kedua
tempat itu mengalami kegagalan. Guna mengatasi hal ini diadakan
pelaporan ke Mataram. Dari Kraton kemudian diperoleh petunjuk berupa
ilham, yang mana menyebutkan, bilamana ingin membangun kota yang
nantinya akan dapat langsung berdiri dan menjadi tempat yang ramai dan
daerahnya menjadi subur, supaya memilih suatu tempat di sebelah utara
Wajak. Di situ terdapat sumber air yang besar. Sumber tersebut supaya
disumbat, dan diantaranya ditanami pohon beringin yang berasal dari
Mataram.
Usaha penyumbatan sumber air yang besar
itu tidaklah mudah. Oleh calon Bupati dicarinyalah petunjuk dari seorang
yang berilmu tinggi. Di desa Tawangsari terdapat seorang Kyai sakti
yang bernama CHOSIM alias ABU MANSUR. Kyai Abu Mansur dimintai
pertolongan untuk melaksanakan tugas pembangunan alun-alun tersebut dan
oleh beliau disanggupinya. Tindakan pertama yang diambilnya ialah : Kyai
Mansur membongkar tujuh batang pohon beringin yang ditanam di desa
Ringinpitu. Kemudian lalu dicarinya persenjataan lain berupa seekor
kerbau bule (kerbau yang putih warna bulunya) untuk dipergunakan sebagai
sasrahan. Bantuan senjata mistik juga dijalankan, ialah dengan meminta
kedatangan rooh halus yang menurut cerita bernama DJIGANGDJOJO dan
TJUNTANGDJOJO untuk menunggui penyumbatan air tersebut. Setelah
perlengkapannya dipersiapkan, maka lalu diadakan pengerahan tenaga untuk
mencari ijuk guna disumbatkan pada mata air tersebut. Yang disuruh
memadatkan sumber itu ialah kerbau bule tadi, dengan cara
menginjak-injak tanpa istirahat, sehingga karena lelahnya sampai
kehabisan tenaga dan mati, kemudian ditanam sebagai sasrahan. Disamping
itu juga dibuatkan urung-urung dan saluran yang dapat mengalirkan air
lewat Kali Jenes menuju ke sungai Ngrowo. Air sudah tidak memancar lagi.
Bibit pohon beringin yang berasal dari Mataram ditanam, yang kemudian
menjadi sebuah pohon yang rindang. Oleh masyarakat setempat pohon yang
tumbuh di tengah alun-alun itu diberi nama RINGIN KURUNG, karena di
sekelilingnya diberi pagar tembok. Ringin itu tumbang, akibat angin
besar sesudah jaman Jepang ialah pada tahun 1947.
Semenjak disumbatnya sumber air yang
besar itu, maka lambat laun rawa-rawa menjadi kering dan merupakan
daerah subur. Pengeringan rawa-rawa itu berarti pula suatu pertolongan
besar bagi masyarakat setempat, termasuk kota Tulungagung yang telah
menjadi ramai seperti sekarang ini.
Demikianlah sekedar riwayat tentang pembangunan Alun-alun Tulungagung.
4. BABAD – DEMUK.
Meskipun desa Demuk merupakan desa
terpencil yang letaknya di dataran pegunungan gamping dekat perbatasan
Blitar Selatan, namun juga tak ketinggalan turut menghiasi lembaran dari
pada sejarah Kabupaten Tulungagung.
Kalau orang menyebut nama Demuk, maka
kesan pertama yang timbul menggambarkan nama sebuah desa tempat orang
sakti yang memiliki kelebihan-kelebihan. Desa Demuk pada pertengahan
abad ke-19 masih berwujud hutan belukar yang tidak pernah diambah orang.
Tak ada yang berani mendekatinya. Karena sudah terkenal keangkerannya.
Boleh dikatakan dalam bahasa Jawa
“Wingit”: “Jalma mara jalma mati, sato mara sato mati’. Banyak
cerita-cerita ajaib tumbuh di kalangan masyarakat Tulungagung mengenai
babadnya desa ini terutama yang menyangkut keistimewaan dari pada
penghuni pertama atau cikal bakal, ialah Raden Mas Djajengkoesoemo. Nama
ini hampir semua orang-orang tua mengenalnya.
R.M. Djajengkoesoemo masih keturunan Raja
Mataram (Hamengkubuwono II). Beliau adalah putra R.M.T. Djajaningrat,
Bupati Ngrowo yang ke-5. nama kecilnya R.M. Moidjan. Sejak dari
kanak-kanak sudah tampak jiwa kepahlawanannya, dan bibit kebenciannya
terhadap orang-orang Belanda. Seringkali putera Bupati ini bertengkar
dengan sinyo-sinyo dan bahkan pada suatu ketika pernah ada seorang anak
Belanda yang ditempelengnya sampai jatuh pingsan. Ayahnya, ialah R.M.T.
Djajaningrat kerap kali merasa jengkel terhadap tindakan puteranya.
Karena kenakalannya pernah R.M.Moijan dihajar oleh sang ayah, dimasukkan
dalam kolah berisi air yang dicampur dengan tumbukan lombok rawit.
Tetapi ternyata tidak apa-pa. jangankan menangis, merasa pedih atau
“wedangan” (bahasa Jawa) pun tidak. Setengah orang mengatakan bahwa
R.M.Moijan adalah anak kendit (mempunyai jalur putih yang melingkar
diatas pingganya).
Ini menandakan seorang anak yang memiliki
kekebalan. Setelah dewasa R.M.Moijan berganti nama R.M.Djajengkoesoemo.
pada tahun 1644 R.M.Djejengkoesoemo R.M.Djajengkoesoemo sudah menjabat
Wedono di kota Tulungagung, lalu pindah ke Srengat (1849), kemudian ke
Nganjuk (1051). Tiga tahun kemudian menjabat Collecteur Berhbek lalu
dipindah jadi Wedono Distrik Gemenggeng. R.M.Djajengkoesoemo sangat
memperhatikan kebutuhan penduduk. Ini terbukti dengan usaha
pembangunannya, ialah ketika di Srengat membuat bendungan Pakel yang
dapat menolong penghidupan rakyat desa Pakel, Pucung, dan Majangan
(Ketm. Ngantru). Selain itu membangun rumah Kawedanan dengan merogoh
sakunya sendiri.
Di Nganjuk juga membangun rumah, lantai
dan pagar Kawedanan atas biaya sendiri serta mengerjakan bendungan kali
Lo, yang menggenangi kebun tebu sampai menjadi sawah. Di Gemenggeng
membangun rumah Kawedanan beratab sirap dan memperbaiki bendungan Kedung
Gupit-Paron yang sering kali dadal, sampai menjadi kuta sekali.
Oleh sebab beliau sering berkecimpung
dalam masalah pembangunan, maka hubungannya dengan masyarakat menjadi
lebih akrab, sehingga hampir setiap orang mengenalnya.
Eratnya perhubungan ini lebih
menjangkitkan jiwa kepatriotannya, sehingga dimana saja namanya selalu
disebut orang. Beliau termasuk seorang yang berkeras hati dan pemberani,
tetapi perasannya sangat halus. Hal ini terbukti dengan terjadinya
peristiwa Ngujang. Pada waktu itu jembatan Ngujang sedang dalam keadaan
dibangun. Kuli-kuli bekerja dengan sibuknya.
Dalam perjalannya dari Nganjuk ke
Tulungagung R.M.Djajengkoesoemo tertarik kepada kesibukan
pekerjaan-pekerjaan pembangunan, sehingga terpaksa berhenti untuk
melihatnya.
Makam R.M. Djajengkoesoemo
Di Demuk (wafat tgl. 9-12-1903)
(foto team 1971).
Diantara berpuluh-puluh kuli, terdapat
beberapa kelompok orang yang sedang beristirahat sambil duduk menikmati
bekal yang dibawanya dari rumah.
Kebelutan pada saat itu ada seorang
petugas bangsa Belanda yang sedang berkeliling mengadakan pengawasan.
Mengetahui orang duduk sambil makan itu ia marah-marah dengan
membentak-bentak ia menyuruh orang-orang itu bekraja kembali dan
menaburkan pasir pada makanan kuli tersebut.
R.M. Djajengkoesoemo mengetahui semua
kejadian itu. Beliau tak dapat menabahkan hatinya. Tanpa pikir panjang
pusakanya dihunus diacungkan kepada petugas yang kasar itu. Karena
pusaka itu sangat ampuh maka petugas tadi tak dapat bergerak dan mati
dalam keadaan tetep berdiri.
Keris pusaka itu bernama keris Kyai Semar
Mesem yang sampai sekarang masih disimpan oleh keturunan R.M.
Djajengkoesoemo. Dengan terjadinya peristiwa itu R.M. Djajengkoesoemo
dipersalahkan, tetapi karena beliau itu masih keturunan Raja, tidak
dikenakan hukuman penjara, melainkan diselong ke Demuk. Untuk ini beliau
disuruh mengajukan permohonan babad hutan kepada pemerintah Belanda.
Surat keputusan berhenti dari jabatan karena pensiun onderstand
diberikan dan berlaku mulai tanggal 23-3-1880, sedang surat ijin babat
hutan Demuk diperolehnya pada tanggal 10 Oktober 1893.
Waktu berangkat beliau hanya membawa
bekal uang f.0,25, dan mengerahkan tenaga sebanyak 40 orang. Tiga
pedukuhan yang dikerjakan ialah Puser, Boto dan Kasrepan. Luas tanah
yang dibabad kesemuanya ada 35 bau, terdiri dari 9,75 bau untuk
pekarangan, dan 25,25 bau untuk pagagan. (Isin No. 755 tgl. 10 Oktober
1893). Ikut bertanda tangan sebagai Komisi :
1. Kontroleur Ngrowo,
2. Wedono Distrik Ngunut, dan
3. Assisten Wedono Kalidawir.
Tanah tersebut tetap menjadi miliknya
R.M. Djajengkoesoemo sampai turun-temurun. R.M. Djajengkoesoemo wafat
pada tanggal 9-12-1903 dan dimakamkan di Demuk.
Sedang putranya bernama R.M. Argono
Purbokoesoemo yang umumnya disebut Raden Margono pernah menjabat Kepala
Desa Puser. Cerita kesaktian masih pula terdapat pada masa itu. Pernah
ada seorang mantra klasir mencobanya, ialah dengan sengaja meninggalkan
topinya. Mantri ini lalu suruhan orang untuk mengambilnya tetapi entah
karena apa tidak kuat mengangkat. R.M.Margono mengerti hal ini. Beliau
segera mendekati topi tersebut, lalu disemparnya dengan kaki. Topi
melesat dan jatuh persis di atas kepala mantri Klasir. Demonstrasi ini
diketahui oleh para lid Klasir, baik dari desa Demuk maupun desa
sekitarnya, sehingga setelah itu Mantri Klasir tak berani menonjolkan
kelebihannya lagi.
R.M. Djajengkoesoemo oleh pejabat pemeritnah Belanda sangat disegani. Demikian pula keturunnya ialah R.M. Purbokoesoemo.
Ketika jaman perang kemerdekaan desa
Demuk yang terpencil itu menjadi ramai seperti kota, karena banyak orang
datang untuk minta restu agar untuk mendapatkan keselamatan di dalam
masa perjuangan menghadapi musuh.
R.M. Poerbo ini mempunyai 9 orang putera
dan salah seorang diantaranya menjadi isteri Wedono pensiunan (R.P.
Sajid) di Kediri, yang menyimpan surat piagam maupun surat silsilah
peninggalan Eyangnya. R.M. Poerbo meninggal pada tanggal 26-6-1946 dan
dimakamkan pula di dekat makam ayahnya. Hingga sekarang desa Demuk
merupakan desa yang bersejarah sehingga di dekatnya didirikan Pos
kemantren dan setelah diadakan perubahan wilayah, masuk Kecamatan
Pucanglaban.
5. DESA – PERDIKAN
Sebelum kita mengungkap tentang sejarah
desa Perdikan yang berada di dalam wilayah Kabupaten Tulungagung, maka
untuk mendapatkan suatu gambaran yang lebih luas, para pembaca kami ajak
meninjau sepintas lalu dalam garis besarnya tentang pengertian yang
menyangkut persoalan tanah perdikan, sehingga dengan demikian dapat
ditarik suatu kesimpulan yang lebih positif dalam mengadakan penilaian
selanjutnya.
ARTI KATA PERDIKAN
Nama “perdikan” asalnya dari perkataan
Sanskerta “Mahardika” artinya tuan, master, sieur. Dalam buku Ramayana
sebutan mahardikan oleh para pendeta, diartikan bebas dari hidup lahir.
Sebagai seorang kawula sudah dapat manunggal dengan Gustinya. Akan
tetapi dalam dunia yang fana ini banyak orang yang memakai kata merdika
dalam pengertian “bebas untuk berbuat sekehendak hatinya”.
ASAL DESA PERDIKAN
Desa Perdikan sudah ada sejak dari jaman
agama Hindu di Jawa. Pada waktu itu oleh raja telah diberikan anugerah
kepada orang-orang atau desa-desa tertentu, berupa kebebasan dari
membayar pajak atau melakukan wajib kerjanya terhadap raja atau Kepala
Daerah.
HAK-HAK DARI DESA PERDIKAN
Kepada orang-orang atau desa-desa
tersebut diberi hak istimewa oleh raja, misalnya hak untuk memakai
songsong kebesaran, memakai warna yang ditentukan, dan sebagainya.
Pemberian hak atas tanah rupa-rupanya
hanya untuk pembukaan hutan belukar, tidak menyangkut tanah-tanah
pertanian. Daerah perdikan itu langsung di bawah kekuasaan Raja, tidak
di bawah pangeran, adipati, bupati, dan lain sebagainya.
Raja berhak untuk merubah adanya hak-hak istimewa itu dan juga berhak untuk mencabutnya.
ALASAN MEMBERIKAN HAK.
Yang biasanya menjadi alasan bagi Raja untuk memberikan hak-hak istimewa itu misalnya :
I. Untuk memajukan agama.
II. Untuk memelihara makam raja-raja atau bangsawan-bangsawan keturunannya.
III. Untuk memelihara pertapaan, pesantren, langgar dan masjid (di jaman Islam).
IV. Untuk memberi ganjaran kepada orang
atau desa yang berjasa kepada raja umpamanya yang menunjukkan
kesaktiannya kepada raja pada saat yang genting.
Secara demikian maka pegawai tinggi yang
berjasa pun diberi pula ganjaran. Oleh karena itu desa perdikan atau
orang-orang yang dapat hak istimewa tadi tidak di bawah perintah kepala
daerah. Mereka politis termasuk orang penting bagi raja, yaitu sebagai
mata telinga raja dalam daerah-daerah yang letaknya jauh dari pusat
kerajaan.
Desa perdikan dapat digolongkan menjadi dua :
Pertama : Yang dibebaskan dari membayar
pajak dan melakukan wajib kerja, dengan dibebankan kewajiban untuk
memelihara makam, memelihara kepentingan agama, dan lain sebagainya.
Kedua : Yang dibebaskan dari
kewajiban-kewajiban terhadap raja atau kepala daerah, dengan ketentuan
bahwa kewajiban-kewajiban haruslah dijalankan guna kepentingan kepala
desanya, yang dapat mempergunakannya sebagai keuntungan sendiri atau
untuk lain keperluan. x)[1]
adapun yang disebut “ desa perdikan” terdiri dari empat macam, ialah :
I. Desa Perdikan.
II. Desa Mutihan.
III. Desa Pakuncen.
IV. Desa Mijen.
I. Desa Perdikan : Adalah desa yang
dibebaskan dari kekuasaan yang tertentu, dari suatu beban dan
kewajiban-kewajiban, yang semua itu harus dipikul oleh rakyat di daerah
biasa. Istilah perdikan, biasa berlaku buat perseorangan dan dapat
berlaku buat suatu daerah (desa) dengan semua penduduknya.
Apabila segenap penduduk desa dibebaskan
dari membayar pajak dan dari melakukan wajib kerja buat raja atau kepala
daerah di atas desa, maka desa itu dinamakan desa “Perdikan”.
II. Desa Mutihan : Yang dinamakan desa
Mutihan ialah desa yang penduduknya terkenal sebagai orang alim, taat
kepada pemerintah agama, yaitu beribadat berpuasa dalam bulan Ramadhon
dan menjalankan perintah agama. Mereka menjatuhkan diri dari
kesenangan-kesenangan lahir, yang dikenal dalam masyarakat Jawa, seperti
pukul gamelan di rumahnya, joged, tayub, wayang, dan lain sebagainya.
Orang tadi disebut “PUTIH”.
Dengan demikian maka guru agama dan
santri-santri dibebaskan dari pembayaran pajak dan wajib kerja, atau
kewajiban-kewajiban itu dialihkan untuk diberikan kepada kepala desa
untuk kepentingan agama.
Begitulah maka di-ibu kota kabupaten dan
dibanyak ibu kota Kawedanan diadakan kampung Mutihan, yang biasanya
dinamakan kampung Kauman.
III. Desa Pakuncen : Istilah mutihan atau
keputihan juga dipakai bagi mereka, yang diwajibkan memelihara makam
para bangsawan atau makam-makam yang dianggap keramat.
Orang-orang yang memikul kewajiban itu
biasanya juga orang yang alim, setidak-tidaknya ia harus dapat membaca
Qur’an dan hafal ayat-ayatnya, sebab ia dalam beberapa upacara harus
dapat mengucapkan atau membaca do’a.
Nama penjaga dan pemelihara makam
tersebut disebut Pakuncen atau juru-kunci (dari perkataan kunci, yaitu
kunci dari pada rumah makam yang dimuliakan).
IV. Desa –Mijen : Istilah Mijen tidak lagi dipakai di daerah “GOUVERMENT”. Perkataan Mijen asalnya dari istilah Piji.
Di Piji (Piniji) artinya di-ismewakan terpilih dari yang lain-lain.
Di daerah Swapraja oleh Susuhunan telah diadakan desa Mijen untuk guru agama, yang sangat dicintainya.
KEWAIBAN BAGI DESA PERDIKAN.
Untuk memberi pembebasan pembayaran pajak
antar wajib kerja kepada desa atau orang perdikan yang wajib di-ingat
adalah sebagai berikut :
Oleh (1). Tanah yang dimiliki / penduduk desa perdikan dilain desa haruslah dikenakan pajak bumi.
(2). Pembebasan dari pajak penghasilan
hanya berlaku bagi penduduk desa yang tetap, dan kalau penghasilannya
didapat dari sesuatu perusahaan, maka yang dibebaskan hanyalah pajak
dari perusahaan, yang tempatnya berada dalam wilayah desa perdikan saja.
(3). Pembebasan dari pajak rojokoyo hanya
berlaku buat chewan milik penduduk desa perdikan yang tetap atau milik
orang perdikan, yang dagingnya tidak untuk dijual.
(4). Siapa yagna tergolong penduduk tetap dari desa perdikan ditentukan oleh kepala daerah.
Dengan resolusi pemerintahan Ned. Ind.
Ttgl. 24/5-1836 No. 12 ditetapkan bahwa apabila kepala desa perdikan
meninggal dunia, untuk penggantinya harus diajukan calon-calon oleh
pegawai pemerintah yang berkewajiban, terutama dari anak lelaki atau
keturunan lainnya. Jika ini tidak ada, maka pencalonan itu dipilih dari
sanak saudara yang paling dekat atau dari para ulama ang terkemuka.
Dalam Regl. Tentang pemilihan kepala desa
(Stbl. 1078 No. 27) ditetapkan, bahwa kepala desa perdikan diangkat dan
diberhentikan oleh Gubernur Jendral.
SEJARAH DESA PERDIKAN, TAWANGSARI, WINONG DAN MAJAN.
Setelah sedikit banyak kita memiliki
pengertian tentang kedudukan serta persoalan pokok mengenai tanah
perdikan, maka marilah kita ikuti sejarah perkembangan tanah perdikan
yang berada di dalam wilayah Tulungagung.
Sejak jaman penjajahan Belanda,
Tulungagung memiliki tiga desa perdikan ialah Tawangsari, Winong dan
Majan. Desa-desa tersebut terletak di tepi sungai Ngrowo masuk wilayah
Kecamatan Kedungwaru.
Untuk mendapatkan suatu gambaran yang
lebih jelas mengenai asal usul desa tersebut, di bawah ini kami sajikan
sedikit keterangan tentang satu dan lain hal yang ada hubungannya dengan
pendirian serta perkembangannya.
Mula pertama tiga desa itu tergabung jadi
satu, dapat digolongkan sebagai desa Mutihan, yang dipinpin oleh
seorang Kyai bernama Abu Mansur.
Abu Mansur berasal dari Ponorogo, murid
dari Kyai Basyariah. Saudara laki-laki menjadi Biskal di Bankalan
Madura, sedang adiknya bernama Roro Mirah.
Pada masa itu yang menduduki tahta
kerajaan di Mataram adalah Paku Buwono ke II (1742-1749). Seorang dari
permaisurinya adalah Roro Mirah adik dari pada Abu Mansur. Dengan
demikian Abu Mansur termasuk ipar dari pada Sang Raja.
Oleh sebab Abu Mansur mahir dalam bidang
keagamaan maka ia mengajukan permohonan untuk mendirikan pesantren.
Tempat yang dipilihnya ialah desa Tawangsari yang terletak di dekat
sungai Ngrowo. Desa tersebut pernah ditinjau oleh raja, dan ditanyakan
kenapa kyai Mansur memilih daerah itu, karena mengingat letaknya,
dikhawatirkan akan mudah dilanda banjir. Tetapi Kyai Mansur berpendapat,
justru tempat yang dekat dengan air itu memenuhi syarat untuk dijadikan
tanah pertanian dan pesantren.
Pendirian masjid serta pesantren mendapat
restu dari raja, Kyai Mansur mendapatkan piagam, yang menyatakan
Tawangsari dijadikan daerah perdikan dan diserahkan turun-temurun kepada
Kyai Abu Mansur .
Di samping itu untuk keselamatan
daerahnya kyai Mansur diberi pinjaman pusaka kraton yang bernama Kyai
Banteng Wulung, tetapi bilamana sudah temurun kepada buyut, diharapkan
agar pusaka tersebut dikembalikan ke Mataram.
Demikianlah secara singkat riwayat
berdirinya desa perdikan Tawangsari. Lama kelamaan pesantren tersebut
menjadi ramai, dan kemudian didirikan masjid lagi di Winong dan Majan
dan masing-masing dipimpin oleh Kyai Ilyas dan Chasan Mimbar, putra dan
cucu kemenakan dari kyai Tawangsari. Mulai saat itu Winong dan Majan
dinyatakan berdiri sendiri dan dinyatakan pula menjadi desa perdikan
hinga saat ini. Yang diberi wewenang untuk memimpin desa tersebut adalah
kerabat dan keturunan dari kedua kyai itu. Kyai Chasan Mimbar adalah
keturunan Patih Mataram P.A. Danuredjo yang kawin dengan Kanjeng Ratu
Angger putera puteri dari Roro Mirah yang menjadi Permaisuri Raja.
Pada jaman Jepang pusaka dari Tawangsari dikembalikan ke Kraton oleh karena Jepang sudah sampai waktunya pada turun buyut.
Yang menyerahkan ke Jogja ialah Eyang
Pandji dari desa Maesan Kecamatan Modjo (ia ada hubungan keluarga dengan
Haji Chasan Mimbar).
Pusaka tersebut diterima oleh Hamengku
Buwono ke IX. Konon menurut ceritanya waktu pusaka itu masih di
Tulungagung, desa Tawangsari tidak pernah dilanda banjir besar.
Dalam usaha pembangunan alun-alun
Tulungagung Kyai Abu Mansur juga tidak sedikit jasanya. Beliau yang
menyerahkan tenaga untuk penyumbatan sumber air yang kemudian di atasnya
ditanami pohon beringin (baca sejarah pembuatan alun-alun). Kyai Abu
Mansur meninggal dunia di Mekkah ketika menunaikan ibadah haji.
6. TERJADINYA DESA DI SEKITAR
DAERAH KALIDAWIR.
KARANGTALUN.
Desa Karangtalun dibentuk sebelum tahun 1800.
Yang jadi cikal bakalnya adalah orang bernama :
1. Soerosetjo.
2. Singokromo.
Kedua-duanya berasal dari Jawa Tengah.
Setelah meninggal dunia Pak Setjo dan Singokromo dimakamkan di Karangtalun.
Desa Karangtalun dibagi menjadi beberapa blok, ialah :
1. Karangsono.
2. Pojok, dan
3. Bendiljet (kemudian dijadikan pedukuhan).
KARANGSONO.
Dapat dikatakan Karangsono, oleh sebab pada jaman dulu ketika masih berwujud hutan di situ banyak tumbuh tanaman kayu sono.
POJOK.
Dinamakan Pojok, karena tempat tersebut
di dalam desa Karangtalun letaknya mlojok (njupit urang) dan di situ
banyak talunnya (pagagan).
BENDILJET.
Dahulu blok Bendiljet merupakan hutan belukar.
Menurut ceritanya ketika dibabat di
tengah-tengah hutan tersebut diketemukan sebuah kendil yang berisi
enjet. Siapa pemiliknya tak ada yang mengetahui.
Meskipun enjet tersebut telah
dipergunakan makan sirih oleh orang-orang di sekitarnya, tetapi tak
kunjung habis. Oleh sebab itu lalu dijadikan dukuhan yang diberi nama
Bendil-enjet. Di desa Karangtalun terdapat pesantren dan punden ialah :
1. Pesantren Setonodowo.
2. Setono–gede.
3. mBah Kendil.
4. mBah Djangil.
Kisah singkatnya adalah sebagai berikut :
Pesantren Setono-dowo.
Pada jaman peperangan Mojopahit ada dua orang yang lari untuk menyelamatkan diri (anak dan bapaknya).
Di dalam perjalanan kedua orang tersebut
bertemu dengan seorang perempuan yang mempunyai tujuan sama. Mereka
bertempat tinggal di dalam satu rumah.
Pekerjaan si anak dan si bapak tiap hari babad hutan, adapun perempuan itu menyediakan makannya.
Baik si bapak maupun si anak kedua-duanya
menaruh hati kepada perempuan tadi, bahkan si bapak ingin pula
memperistrikannya. Pada suatu hari anaknya pamit tidak turut babad
hutan, dengan alasan merasa sangat payah. Terpaksa bapaknya berangkat
sendirian.
Terjadilah suatu peristiwa dimana si anak
tadi senang dengan perempuan yang berdiam serumah itu. Ketika bapaknya
pulang dari hutan dan mengetahui tindakan anaknya yang tidak senonoh
itu, maka tanpa pikir panjang ia mengambil tombak. Sang anak lari dan
dikejar. Akhirnya dapat ditusuk dengan tombak tadi sehingga ususnya
keluar.
Tetapi masih sempat lari menuju ke barat
dan sekali lagi dikejar dan ditombaknya sehingga mati. Dengan matinya
anak tersebut, tombaknya juga ditanam bersama mayat itu, sehingga
makamnya jadi panjang. Tempat tersebut hingga sekarang disebut
setonodowo (makam panjang).
Punden mBah Djangil. Riwayatnya adalah sebagai berikut :
Ada sebuah tonggak kayu yang berada di
tepi jalan. Pada suatu waktu terjadi kecelakaan ialah adanya orang dan
hewan yang kakinya terantuk kepada tonggak itu sampai jatuh dan menemui
ajalnya.
Oleh karena letaknya menonjol (dalam bahasa Jawa “Njangil) maka tempat itu lalu dijadikan punden yang diberi nama mBah Djangil.
DESA – TANJUNG.
Desa Tanjung terjadi dari 2 dukuhan, ialah :
1. Dukuh Bendil.
2. Dukuh Kambingan.
Yang babad pertama ada 5 orang :
1. Pontjodrono – berasal dari Pacitan.
2. Kromomedjo – berasal dari Pacitan.
3. Tanikarso – berasal dari Kudus.
4. Nadikromo – berasal dari Solo.
5. Singokromo – berasal dari Magetan.
Waktu masih berwujud hutan banyak terdapat tanaman penjalin. Oleh sebab itu dukuh tersebut diberi nama Bendil.
Sesudah menjadi pekarangan dan keadaannya
menyenangkan lalu diadakan pilihan ketua, sedang yang terpilih ialah
Kromomedjo (no. 2 diantara 5 orang yang babad).
DUKUH KAMBINGAN.
Yang babad pertama 2 ialah :
1. Kertomedjo – berasal dari Pacitan.
2. Djowidjojo – berasal dari Pacitan.
3. Kromodjojo – berasal dari Magetan.
4. Singontani – berasal dari Magetan.
5. Karjo Mohamad – berasal dari Solo.
Dinamakan Kambingan karena ketika masih
berwujud hutan banyak rumputnya WEDUSAN (Kambingan). Dukuh Bendil dan
Kambingan kemudian dijadikan satu dan dinamakan desa Tanjung.
DESA – JOHO.
Desa Joho terdiri dari 3 pedukuhan ialah :
1. Joho
2. Ngrejo
3. Ngampel
Di sebut Joho karena pada waktu masih berwujud hutan di sana ada sebuah pohon besar yang dinamakan pohon Joho.
NGREJO
Waktu hutannya dibabad di tempat ini
diketemukan sebuah mata air yang namanya belum dikenal. Oleh karena
kebelutulan di dekatnya ada dua ekor angsa (banyak) yang warna bulunya
merah, maka sumber tersebut diberi nama banyak-bang.
Hingga sekarang (sampai menjadi rejo)
sumbernya masih besar dan dapat digunakan untuk mengairi sawah di
sekitarnya. Oleh sebab itu lalu disebut dukuh Ngrejo (karena sudah
menjadi ramai).
NGAMPEL.
Dahulu merupakan hutan bambu ampel.
Oleh karena itu setelah menjadi pedukuhan lalu diberi nama Ngampel.
DESA – DOMASAN.
Nama-nama yang babad pertama ialah :
1. Hirosemito.
2. Wonodrijo.
3. Singodipo.
4. Onggongali.
5. Wonokromo.
6. Nojontani.
7. Banjar dan teman-temannya.
Kelompok ini memiliki Wonodrijo sebagai ketuanya.
Daerah kecil tadi diberi nama DOMASAN.
Ceritanya adalah demikian : Pada jaman
Belanda pernah diketemukan sebuah arca kecil mirip arca Betara Guru yang
bertangan empat; berada di dalam rumah-rumahan yang bentuknya seperti
joli dibuat daripada emas.
Barang kuno ini diserahkan kepada Pemerintah Belanda.
Kemudian diketemukan lagi sokodomas,
tetapi tidak diserahkan melainkan ditanam kembali. Letak sokodomas itu
di tengah-tengah desa dekat SD. Domasan dahulu. Setelah diadakan pilihan
lurah namanya tetap disebut Desa Domasan.
Desa ini terdiri dari4 Pedukuhan ialah :
1. Dukuh Gambar letaknya di sebelah utara sokodomas.
2. Dukuh Sanan letaknya di sebelah timur sokodomas.
3. Kembangan letaknya di sebelah selatan sokodomas.
4. Kambingan letaknya di sebelah barat sokodomas.
Desa Domasan pernah masuk wilayah
Asistenan Tambakrejo (Sumbergempol), dan sejak tahun : 1873 dimasukkan
dalam wilayah Asistenan Kalidawir).
DESA PAKISAJI.
Desa ini terdiri dari 4 pedukuhan ialah :
1. Ngejring.
2. Bocor.
3. Jigang.
4. Jatirejo.
Masing-masing pedukuhan mempunyai riwayat sendiri-sendiri.
Dukuh Ngejring – Pada waktu babadnya
terdapat banyak pohon jring (jengkol) yang kemudian dipergunakan untuk
nama pedukuhan tersebut.
Dukuh Bocor – Di sini diketemukan banyak mata air yang seolah-olah keluar dari pada suatu wadah yang bocor.
Oleh karena itu pedukuhan tersebut dinamakan dukuh Bocor.
Dukuh Jigang – Di situ terdapat sebuah
pohon besar. Diantara akarnya ada yang berbentuk seperti kaku manusia
yang sedang jigang. Maka pedukuhan itu lalu diberi nama dukuh Jigang.
Dukuh Jatirejo – Nama Jatirejo
dipergunakan seb agai nama pedukuhan, karena di tempat tersebut dahulu
banyak sekali tanamannya pohon jati. Pedukuhan ini didirikan pada
sekitar tahun 1800. Tiap-tiap pedukuhan ada ketuanya.
Dukuh Ngejring diketuai oleh : Krijolesono.
Dukuh Jigang diketuai oleh : Krijodrono.
Dukuh Bocor diketuai oleh : Towongso,
sedang Jatirejo oleh Amadarjo yang akhirnya keempat orang tadi diakui
sebagai Uceng pedukuhan.
Sebelum dibentuk Desa maka empat
pedukuhan itu digabungkan dengan desa Karangtalun. Kemudian timbul suatu
usul kepada Pemerintah agar empat pedukuhan ini dikeluarkan dari desa
Karangtalun dan dibentuk suatu desa tersendiri.
Usul itu dikabulkan dan setelah dan
setelah diadakan pilihan, maka orang bernama Kasanrejo telah terpilih
sebagai Kepala Desa dan berkedudukan di Pakisaji karena di situ terdapat
sebuah pohon pakis yang diaji-aji oleh penduduk.
DESA PAGERSARI.
Desa Pagersari terdiri dari 4 pedukuhan ialah :
1. Pagersari.
2. Tondo.
3. Ngumbo, dan
4. Genengan (Tawang).
Dukuh : Pagersari.
Pedukuhan ini dikelilingi (dipagari) oleh
gunung-gunung dan rawa-rawa, sehingga hawanya sangat dingin. Mengingat
letaknya daerah itu maka lalu diberi nama Pagersari.
Dukuh : Tondo
Nama pedukuhan ini diambilkan dari nama orang yang babad pertama, ialah : Tondo-suwarno.
Dukuh : Ngumbo
Nama Ngumbo berasal dari kata “amba” yang artinya luas.
Dahulu hutannya sangat lebat sampai yang babad merasa payah. Karena luasnya daerah tadi maka lalu dinamakan Ngumbo.
Dukuh : Genengan.
Bentuk daerahnya persegi panjang, dan
disekelilingnya terdapat rawa-2 sehingga tempat ini merupakan suatu
dataran yang tinggi (geneng). Oleh karena itu lalu diberi nama Genengan.
DESA : BANYU – URIP.
Desa Banyu – urip terdiri dari 2 padukuhan, ialah :
Banyu- urip dan Baran.
Desa tersebut sebelum tahun: 1968 masih
berbentuk pedukuhan dan termasuk wilayah desa Kalibatur. Dengan adanya
operasi pembinaan wilayah Tulungagung Selatan, maka lalu diadakan
pemecahan.
Dukuh Banyu-urip dijadikan desa
tersendiri dan mendapat tambahan wilayah dari desa Rejosari yang
berdekatan letaknya. Sebabnya dinamakan Banyu-urip menurut cerita adalah
sbb. :
Dahulu kala ketika masih berwujud hutan
terdapat sebuah sungai yang airnya terus-menerus mengalir. Sungguhpun
tempat ini letaknya di daerah pegunungan, namun bagi yang babad pertama
tidak timbul rasa gelisah karena disitu terdapat air yang mereka namakan
“Banyu panguripan” oleh sebab itu lalu tempat tersebut lalu diberi nama
Banyu-urip.
Tetapi lama- kelamaan akibat tanah
longsor sungai jadi tertutup tanah dan tidak kelihatan lagi. Pada tahun
1944 didekat bekas sungai tersebut pernah dibuatkan waduk tetapi karena
derasnya air hujan terpaksa tanggulnya putung dan hingga sekarang belum
diadakan perbaikan lagi.
Dukuh : Baran.
Ceritanya adalah demikian : waktu mmasih
berupa hutan ada seseorang bernama : Dulkusen memang sengaja bara disitu
untuk babad hutan. Kemudian datang lagi seseorang yang bernama :
Wonokarso.
Begitu seterusnya berturut-2 datang
beberapa orang lain berikut keluarganya yang juga untuk tujuan yang sama
sehingga tempat tadi merupakan tempatnya orang bara. Setelah menjadi
padukuhan lalu diberi nama Baran.
Didekatnya pedukuhan ini terdapat rawa yang disebut pula rawa Baran.
Dukuh : Tekik.
Dukuh Tekik terletak disekitar Kantor
Perwakilan Kali batur. Dahulu ditempat ini tedapat sepotong pohon tekik
besar yang letaknya di tepi jalan. Karena rindangnya maka banyak orang
yang bepergian berhenti disitu untuk berteduh. Demikian pedukuhan itu
lalu dinamakan dukuh Tekik.
DESA : N G U B A L A N.
Desa Ngubalan terdiri dari 2 padukuhan ialah :
Ngubalan.
Ngluweng.
Ngubalan.
Ngluweng.
Dukuh Ngubalan.
Kata Ngubalan diambil dari kata-2 bahasa Jawa “mobal” artinya : menyala.
Adapun riwayatnya, ketika diadakan
pembabadan hutan untuk dijadikan suatu pedesaan, maka kayu-2 hasil
pembabadan dikumpulkan pada suatu tempat terbuka.
Karena teriknya matahari kayu-2 yang suda kering tadi terbakar sehingga menimbulkan nyala api yang hebat.
Mengingat kejadian itu maka yang babad pedukuhan tadi diberi nama Ngubalan.
Disini terdapat pula sebuah kucur yang
hingga sekarang terus memancarkan air dan dapat dipergunakan untuk
mengairi sawah di desa Ngubalan.
Dukuh : Ngluweng.
Ditempat ini pada jaman dahulu terdapat sebuah sumber besar yang bentuknya seperti sumur (luweng).
Sumber tadi sangat besar manfaatnya bagi
daerah tersebut. Karena selain dipergunakan untuk air minum juga untuk
pertanian. Mengingat bentuknya seperti luweng, maka pedukuhan tadi lalu
diberi nama Ngluweng.
DESA : SALAK KEMBANG.
Desa Salak Kembang terdiri dari 2 pedukuhan ialah :
Salakan dan Kembangan.
Dahulu keduanya merupakan kelurahan dan
masing-2 ada kepala desanya. Oleh sebab daerahnya tidak luas maka lalu
digabungkan menjadi satu, demikian pula mengenai namanya. Kalau dahulu
bernama Salakan dan Kembangan lalu dirubah menjadi Salak Kembang.
Dukuh : Salakan.
Apa sebab disebut-sebut dukuh Salakan,
karena semenjak dahulu disitu terdapat sebatang pohon salak yang hingga
kini masih hidup dan tak ada orang yang berani menebangnya.
Yang menjadi cikal-bakalnya ialah : mBah Irodjojo, yang mana setelah meninggal dunia dimakamkan di dukuh tersebut.
DESA SALAK KEMBANG tidak memiliki djalan perempatan sebagaimana desa – desa lainnya.
DESA: J A B O N.
Pedukuhannya ada 3 ialah : Jabon, Genengan, dan Karangsono.
Adapun sebab-sebabnya dinamakan desa
Jabon, karena waktu dahulu di tempat tersebut berdiri sebatang pohon
jabon yang besar . Sedangkan dukuh Genengan ketika nasih berwujud hutan
letaknya lebih tinggi daripada tanah sekitarnya (bahasa Jawa geneng).
Adapun mengenai dukuh Karangsono, karena dahulu banyak pohonnya sono
lalu diberi nama Karangsono.
DESA : W I N O N G.
Winong mula- mula adalah pedukuhan termasuk Desa Kresikan.
Setelah diadakan pemecahan wilayah maka lalu dijadikan desa tersendiri ( 15/11-1968 ), meliputi 6 padukuhan ialah :
Mongkrong, Branjang, Ngledok, Tumpak-Joho, Winong Ngambal.
Masing- Masing padukuhan dukuhan mempunyai riwayat sendiri- sendiri :
Dukuh : Mongkrong.
Pada jaman dibabadnya terdapat pohon
kendal besar yang tumbuh ditepi sungai. Diantara akar-akarnya ada yang
menjulur ke sungai. Dengan demikian maka pedukuhan tersebut dinamakan
Mongkrong. (mengingat adanya akar yang menjulur ke sungai itu).
Dukuh : B r a n j a n g.
Sebabnya dinamakan Brajang, karena ketika masih berwujud banyak sekali rumputnya brajangan.
Dukuh : N g l e d o k.
Karena letak tempatnya rendah (ledok) maka dinamakan dukuh Ngledok.
Dukuh Tumpakjoho.
Diberi nama dukuh Tumpakjoho, karena letak daerahnya agak tinggi, nerupakan sebuah pucuk dan di atasnya tumbuh sebatang joho.
Dukuh : Ngambal.
Dahulu hutannya sangat lebat sehingga
tidak sekaligus dapat dibabad, melainkan terpaksa berulang-ulang
dikerjakan. Berulang-ulang yang dalam bahasa Jawa dikatakan “ambal-
ambalan”. Oleh karena itu pedukuhan tersebut diberi nama Ngambal.
Dukuh : W i n o n g.
Nama Winong diambilkan dari nama sebatang pohon besar yang pada waktu dibabad terdapat di daerah tersebut.
DESA : SUKOREJO.
Desa Sukorejo terdiri dari 2 padukuhan ialah :
Sukorejo dan Kedungdowo. Nama Sukorejo
diambilkan dari nama sebatang pohon ialah pohon suko. Adapun sebabnya
diberi nama tadi karena ketika masih berwujud hutan disitu banyak tumbuh
pohon suko. Yang babad pertama ialah Pak Sedokromo. Inilah yang
memberikan nama Sukorejo.
Dukuh Kedungdowo.
Pedukuhan ini dibabad oleh orang bernama :
Redjowidjojo pada tahun 1825. Disitu ditemukan sebuah kolam yang memanjang.
Setelah merupakan padukuhan maka oleh Redjowidjojo tempat ini diberi nama Kedungdowo, mengingat ada kedungnya yang panjang.
DESA : REJOSARI.
Rejosari adalah nama baru. Dahulu orang menyebutnya desa Bibir. Adapun ceritanya sebagai berikut :
Ketika masih belum begitu ramai ada
seorang wali yang singgah di sebuah rumah penduduk, karena kebetulan
sedang hujan lebat. Kepada penghuni rumah itu berpesan bilamana nanti
diadakan pemerintahan desa, tempat ini supaya disebut dengan Bibir.
Maka ketika sudah mencapai 60 rumah lalu
diadakan pilihan Kepala Desa. Yang terpilih sebagai Kepala Desa pertama
ialah Kartonadi. Penduduk desa ingat akan pesanan wali tersebut. Dan
menurut keputusan desa itu diberi nama Bibir.
Kemudian penduduknya makin lama makin bertambah banyaknya desanya kelihatan maju.
Oleh Assisten Wedana diadakan peninjauan
dan kemudian diadakan penggantian nama desa. Mengingat bahwa keadaanya
sudah ramai atau dalam bahasa daerahnya rejo, maka desa itu dinamakan
Rejosari. Desa Rejosari terdiri dari 6 padukuhan ialah :
Dukuh : Tumpakgedang.
Sebabnya diberi nama Tumpakgedang karena di tempat ini banyak orang datang dari ngare untuk berjualan pisang.
Dukuh : Lunggur- duwur.
Nama ini diambilkan dari letaknya daerah ialah disebuah lunggur yang tinggi.
Dukuh : Kalimenur.
Ketika masih bewujud hutan terdapat sebuah sungai yang ditepinya banyak tumbuh bunga menur.
Oleh sebab itu lalu dinamakan Kalimenur.
Dukuh : Kalilombok.
Dinamakan Kalilombok karena setelah pembukaan hutan pertama-tama yang ditanamnya oleh yang babad ialah tanaman lombok.
Dukuh : Tumpaknongko.
Nama ini dipergunakan sebagai nama padukuhan karena di sini banyak tanamannya pohon nangka.
DESA : KALIDAWIR.
Dahulu di tempat ini banyak sekali
sungainya sehingga hubungan antar blok dilakukan menyeberangi sungai
yang banyak persimpangannya. Dari banyaknya persimpangan ini maka desa
itu disebut orang Kalidawir (kali yang banyak bercabang). Semula desa
Kalidawir termasuk wilayah Blitar.
Kepala Desa yang pertama bernama : Pak Ronodipo bersal dari Lodoyo. Kalidawir mempunyai 6 padukuhan ialah :
Kalidawir
Nganggrek
Kalilumpang
Krandegan
Boto/ Genengan
Clangap / Ngrowogebang
Kalidawir
Nganggrek
Kalilumpang
Krandegan
Boto/ Genengan
Clangap / Ngrowogebang
Dukuh : Kalidawir.
Dahulu merupakan krajan (tempat Kepala Desa) tetapi kemudian lalu menjadi pedukuhan.
Dukuh : N g a n g g r e k.
Karena ketika babadnya banyak terdapat bunga angrek di tepi sungai maka pedukuhan ini lalu diberi nama Ngangrek.
Dukuh : Kalilumpang.
Nama Kalilumpang diambil dari keadaan
daerah waktu dibabad, ialah di tengah-tengah sawah terdapat sebuah
kedung yang bentuknya seperti lumping. Oleh sebab itu pedukuhan ini lalu
disebut orang Kalilumpang.
Dukuh : Krandegan.
Ditempat ini terdapat sebuah gunung, terletak ditengah- tengah sawah yang dilingkari oleh sungai.
Bilamana musim penghujan dan timbul
banjir, banyak carang-carang dan sangkrah- sangkrah yang tak dapat
hanyut, kemudian terhenti (kandeg) disekitar gunung ini. Oleh sebab itu
tadi dinamakan dukuh Krandegan.
Adapun gunungnya diberi nama gunung Kuncung.
Dukuh : Boto/ Genengan.
Daerah ini dahulu merupakan balong (tempat yang selalu ada airnya).
Disini banyak terdapat binatang Kancil.
Oleh sebab itu lalu dinamakan Balong Kancil.
Ditengah- tengah balongan tersebut. Tanahnya agak tinggi (geneng) dan bentuknya seperti batu merah (bata).
Hingga sekarang lalu dinamakan dukuh Boto/Genengan.
Dukuh: Clangap/ Ngrowogebang.
Sebabnya dinamakan dukuh
Clangap/Rowogebang karena bila ingin mengadakan hubungan ketetangga
pedukuhan harus melaui clangap-clangap/balong-balong dan rawa-rawa.
Ditepinya rawa tersebut banyak tanamannya gebang. Oleh karena itu daerah
ini dinamakan Clangap/ Ngrowogebang.
DESA : KALIBATUR.
Desa ini terdiri dari 6 pedukuhan ialah : Papar, Ngembes, Dawung, Banaran, Darungan, Kalibatur.
Apa sebab dinamakan Kalibatur, ada rentetan ceritanya ialah mengenai perjalanan seorang satriya. Demikianlah kisahnya :
Pada jaman dahulu ada seorang satriya
yang sedang mengembara dari arah timur menuju ke barat. Disebelah
Kalibatur ia berhenti untuk berbuang.
Setelah selesai, dicarinya air tetapi
tidak ada sehingga terpaksa membersihkan dirinya dengan rumput (peper).
Tempat ini lalu dinamakan Papar. Ia meneruskan perjalanannya menuju ke
barat. Karena merasa lelah lalu beristirahat sambil mengeluarkan air
mata (mbrebesmili).
Tempat dimana ia berhenti ini dinamakan Ngembes.
Selanjutnya ia berjalan terus dan karena
terik matahari lalu berteduh di bawah pohon Dawung. Tempat dimana ia
berteduh dinamakan dukuh Dawung.
Kemudian meneruskan perjalanan lagi
membelok ke arah timur. Disitu banyak dataran tanah yang luas (banar).
Oleh sebab itu lalu dinamakan dukuh Banaran.
Dari Banaran ia berbelok ke arah utara
dan merasa bingung, dalam arti kedarung- darung karena tidak mengetahui
jalannya lebih lanjut. Tempat ini diberi nama dukuh Darungan. Kemudian
ia lalu berjalan menyusuri sungai. Tiba-tiba ia mendengar suara orang.
Setelah naik kedaratan satriya ini mengatakan bahwa ia telah mendapatkan
teman (batur) untuk bercakap-cakap. Tempat dimana ia menemukan batur
ini dinamakan Kalibatur.
DESA : B E T A K.
Sebelum kecamatan Kalidawir dibentuk,
desa Pagersari dan desa Njunjung (Kecamatan Sumbergempol) tergabung
menjadi satu desa dengan Betak. Biamana mengadakan rapat, tempatnya
adalah di Sanggrahan (Boyolangu).
Tiap- tiap ada pertemuan orang lalu
masak-masak dan di desa Betak ini tempatnya menanak nasi (bahasa Jawa
betak/adang). Oleh sebab itulah maka tempat tersebut dinamakan desa
Betak.
Dukuh : Gondang.
Asal mula diberi nama Gondang karena disini dahulu terdapat sebatang phon gondang yang besar.
Dukuh : Karanglo.
Ketika masih berwujud hutan terdapat sebatang pohon lo besar dan disini ada pesareannya seorang bernama : Mbah Nggolo..
Dukuh : Manding.
Dahulu di sini terdapat pohon krandingan.
Untuk mudahnya orang menyebut manding dan dari kata-kata ini maka padukuhan tersebut diberi nama Manding.
Dukuh : Sambirejo.
Dahulu daerah tersebut merupakan hutan
bambu yang umum disebut papringan. Setelah dibabad dan menjadi pedukuhan
yang makin lama makin menjadi ramai (rejo) maka pedukuhan tersebut
dinamakan Sambirejo.
Dukuh : Bonsari.
Kata- kata ini diambil dari asal mulanya
pedukuhan yang ketika belum dibabadi merupakan kebonsaren. Hingga
sekarang pedukuhan ini diberi nama KEBONSARI.
Demikianlah cerita orang mengenai riwayat terjadinya pedukuhan-pedukuhan disekitar daerah Kalidawir. next
Oleh: Drs Suprayitno | September 26, 2009
BAB V BUKU BABAD TULUNGAGUNG
BAB V
JAMAN KOLONIALISME BELANDA
S.8 Jaman Peralihan ( 1800 – 1830)
Tahun 1800-1830 kita namakan Jaman
peralihan karena pada saat-saat itu terjadinya proses pemisahan
pengusaan-penguasan daerah dari induk semangnya yaitu Kesunanan dan
Kesultanan.
Penamaan diatas sebenarnya hanya kita
pakai untuk menyatakan bahwa pada saat-saat ini terjadi peralihan
“pengemudi” politik daerah. Semula kegiatan sosial politik daerah-daerah
tergantung pada kesunanan dan kesultanan.
Benar VOC telah banyak berpengaruh
terhadap kedua kerajaan ini tetapi nyatanya campur tangan didalam
soal-soal daerah tidak nyata dapat nyatanya lihat. Hanya akibatnya yang
dirasakan oleh rakyat di daerah-daerah atau di Kabupaten.
Pemakaian istilah jaman Peralihan diatas
memang kita sesuaikan dengan maksud penulisan buku ini, yaitu meninjau
sejarah daerah dalam hal ini ialah daerah Tulungagung.
Kedalam jaman ini termasuk jaman Pengaruh
Perancis belnda yang pemegang kekuasaannya di Indonesia dijabat oleh
H.W.Daendels. jaman Inggris, pemerintahan Indonesia dikemudikan oleh
T.S.Raffles, jaman komisaris Jenderal (1616 – 1819) dilaksanakan oleh 3
orang yaitu Elout, Buyskus dan Van Der capellen. Dan yang terakhir Jaman
Penyusunan kekuasaan kolonialisme Belanda di Indonesia tahun 1819 –
1830
Pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal
daendals penderitaan rakyat Indonesia makin meningkat. Hal ini terjadi
karena adanya proyek-proyek pertahanan yang dilaksanakan oleh daendals
memerlukan tenaga-tenaga rodi (kerja paksa) yang cukup banyak.
Usaha daendals memperluas kekuasaan pada
kerajaan-kerajaan Indonesia mengakibatkan makin berkurangnya hak dan
kekuasaan raja-raja tersebut. Mereka mulai dipisahkan dari Bupati-Bupati
bahwahannya dengan cara menjadikan bupati sebagai pegawai pemerintah.
Usaha sentralisasi pemerintah mulai
dilaksanakan sebab itu pada saat ini diadakan perubahan pembagian daerah
terutama di Pulau Jawa. Jawa dibagi menjadi 9 karesidenan (prefectuur)
yang dikepalai oleh prefect. Di Jogya dan Solo di tempatkan pegawai
tinggi Belanda dengan pangkat minister yang derajatnya sama dengan
Sultan dan Sunan.
Bupati-bupati langsung dibawah kekuasaan
prefect-prefect dan mereka tidak usah membayar upeti tetapi boleh
memungut pajak yang hasilnya sebagai harus diserahkan kepada kepada
pemerintah Belanda.
Pengadilan mulai diadakan di kabupaten-kabupaten yaitu :
Pengadilan rendah. Di tingkat karesidenan
diadakan pengadilan menengah sedangkan mahkamah tinggi hanya diadakan
di Semarang dan Surabaya. Kecuali itu bagi orang-*orang asing Barat dan
asing Timur diadakan pengadilan tersendiri.
Untuk memperoleh keuangan Daendals
memperluas penanaman kopi. Usaha-usaha lain dalam hubungan mencari uang
dengan menjual tanah-tanah kepada fihak partikelir, monopoli garam,
candu dan penyelenggaraan hutan-hutan jati.
Daendals memperbesar kesengsaraan rakyat.
Sebab itu kemungkinan dia ditarik kembali ke Eropa. Sebagai gantinya
adalah Gubernur Jenderal Jansens (1811).
Pada saat Jnssens berkuasa inilah datangnya Inggris menyerbu pulau jawa (1811).
Masa pemerintahan Inggris (Raffles)
Indonesia tidak ada bedanya dengan jaman Daendals. Penguasa-penguasa
raja Kejawen (Jogja danSolo) dipaksa pula untuk diberikan hak-hak
kekuasaanya. Bahkan daerah Jogya dikurangi untuk diberikan kepada
Pangeran Notokusumo yang telah berjasa dalam membantu Inggris. Pangeran
Notokusumo kemudian bergelar Paku Alam (1813).
Raffles sebagai penguasa di Indonesia
tidak menyetujui adanya sistem monopoli seperti pada jaman VOC sebab itu
sebagai gantinya dia mengemukakan konsep baru mengenai perpajakan.
Ketika terjadi perubahan politik di Eropa
yang antaranya menghasilkan Konvensi London (1814) akhirnya Inggris
harus lepaskan Indonesia dan dikembalikan pada Belanda. Untuk menerima
penyerahan ini pemerintah Belanda membentuk panitia yang disebut
Komisaris Jenderal beranggotaan 3 orang yaitu : Elqut, Buyskus dan Van
Der capellen. Mereka mulai bekerjanya tahun 1816 – 1819. dan ternyata
proses penyerahan itu tidak lancar karena raffles yang tetap ingin
berkuasa di Indonesia itu mempersulit penyerahan tersebut.
Tugas pokok komisaris jenderal ini
mengambil oper kekuasaan dari Inggris, menyelesaikan urusan pemerintah,
kepegawaian serta melaksanakan dasar-dasar pemerintahan baru di
Indonesia.
Hal lain yang penting yaitu memikirkan
tentang modal dan tenaga partikelir bagi Indonesia, karena di negara
Belanda telah banyak orang-orang kaya yang memiliki modal partikelir.
Tahun 1819 tugas Komisaris Jenderal
dianggap selesai dan van der Capellen tetap tinggal di Indonesia sebagai
gubernur Jenderal (1819 -1826)
Sehubungan dengan pelaksanaan dasar-dasar
pemerintahan baru untuk Indonesia diadakanlah perubahan-perubahan
mengenai kepegawaian tata usaha pemerintah. Di bawah Gubernur Jenderal
bertindak sebagai badan pemerintah yaitu Residen selanjutnya Asisten
Residen dan kemudian Kontrolir untuk penghasilan negeri.
Bupati-bupati diangkat dan dipecat oleh Gubernur-gubernur atas usul Residen.
Pada saat ini Bupati Ngrowo yang telah
ditunjuk adalah R. M. T. Pringgodiningrat. Pada masa jalan dibangun
pusat kota kabupaten baru yang terletak di sebelah timur sungai Ngrowo,
yaitu juga sekarang menjadi pusat kota Tulungagung. Pada saat
pembangunan pusat kota ini tidak dapat dilupakan bantuan keluarga Kyai
Abu Mansur dari Tawangsari. Sebagai kepala desa perdikan dia merasa
berhutang budi kepada Sultan dan keturunan-keturunannya yang telah
menjadikan desa Tawangsari sebagai desa perdikan.
Abu Mansur mengerahkan sebagian besar rakyatnya untuk pembangunan tersebut.
Seperti yang telah kita uraikan pada bab
yang lampau, bahwa pembangunan pusat kota ini tidak terlepas dari pola
tradisional keraton, hanya di sana-sini ada perubahan sesuai dengan
kebutuhan, seperti umpamanya tempat tinggal Assisten-Residen, Kontrolir
dan sebagainya, yang letaknya perlu dipusat kota pula.
Pendirian pusat kota ini terjadi pada
tahun 1824, yang sebagai tugu peringatan didirikan patung-patung raksasa
pada tiap-tiap dalan jurusan keluar kota, yaitu tepat di tapal batas
kota. Bangunan ini sekarang dikenal sebagai “Retjo Pentung”.
Sebenarnya Retjo Pentung ini merupakan
candrasengkolo memet (berwujud gambar) yang dengan kalimat berbunyi “Dwi
raseksa si nabda Ratu” dan menunjukkan angka tahun Jawa 1752 atau tahun
masehi 1824. Memang pada masing-masing tempat dimana patung-patung
tersebut didirikan, ada dua buah retjo pentung di kanak kiri jalan. Di
bagian selatan terletak di dekat desa Beji, di timur di desa Jepun, di
utara di desa Kedungwaru dan di barat di desar Tertek / Kedungsoko.
Tentang candra sengkala ini, arti, fungsi dan penempatan lukisan atau
kalimatnya memang sesuai dengan peristiwa yang diperingati. Menurut
kebiasaan Hindu-Budha, patung raksasa seperti retjo pentung itu disebut
dwarapala yang penempatannya di pintu gerbang masuk komplek, percandian,
istana ataupun kota. Sehingga kalau retjo pentung yang kita bicarakan
di atas peletakannya kita katakana di tapal batas kota, kiranya tidak
menyimpang dari arti kebiasaan-kebiasaan Hindu-Budha dahulu. Dan dengan
demikian kita dapat menyimpulkan bahwa luas pusat kota dewasa ini kurang
lebih 1 km2.
Bupati-bupati yang diangkat Gubernur
Jendral mendapat gaji tetap dari pemerintah, tetapi mereka masih berhak
mempekerja rodikan tenaga rakyat beberapa hari dalam setahun bagi tiap
orang. Beban rakyat semacam ini disebut “pancen”.
Susunan pemerintahan kabupaten saat ini
terdiri dari Bupati yang dibantu oleh seorang patih. Di bawah Bupati
adalah Wedana, selanjutnya Asisten Wedono yang dibantu oleh beberapa
orang menteri.
Modal partikelir, terutama modal
orang-orang Cina dewasa ini memang sudah banyak ditanam di Indonesia.
Penanaman itu terutama dalam bentuk pemborongan bea dan pajak,
pemborongan tempat-tempat pembuatan garam, yang pada masa ini
penjualannya menjadi monopoli pemerintah. Dalam hal pembuatan garam ini
orang-orang Cina dapat mempekerja rodikan orang-orang di sekitar
tempat-tempat pembuatan garam itu tanpa mebayar upah buruh.
Penjualan garamnyapun dilaksanakan oleh
pemborong-pemborong Cina tersebut. Kadang-kadang mereka mengambil untuk
tidak tanggung-tanggung. Harga garam perkojan di pantai 25 ringgit,
dijual ke dalam negeri (pedalaman sampai mencapai harga 140 ringgit
perkojan.[1]
Untuk tempat-tempat penyimpanan
barang-barang dagangan atau hasil-hasil penarikan dari rakyat yang
berupa hasil bumi didirikanlah oleh pemborong-pemborong tersebut
gudang-gudang. Di daerah Tulungagung gudang-gudang semacam itu terdapat
pula, yaitu gudang garam dan kopi yang letaknya di tepi sungai, di
kompleks Pasar Wage sekarang.
Melihat kenyataan-kenyataan semacam ini
Van Der Capellen yang telah ditunjuk sebagai Gubernur Jendral di
Indonesia tidak mau menjalankan prinsip-prinsip liberalisasi modal
asing, seperti jang dianjurkan oleh pemerintah. Bahkan dia menunjukkan
sikap konservatifnya dan mencabut izin-izin sewa menyewa tanah jang
telah banyak dilakukan antara bangsawan-bangsawan Indonesia dengan
golongan partikelir asing barat/timur.
Seperti telah kita terangkan di atas,
bahwa pengertian pegawai-pegawai Istana dan Bupati-bupati menyebabkan
suratnya penghasilan mereka dan mereka boleh dikata tinggal memiliki
gelar-gelar belaka. Jalan satu-satunya untuk menutup hanyalah menjual
harta miliknya atau menyewakan tanah “lungguh” / apanage mereka kepada
modal asing. Publikasi Van Der Capellen tahun 1823, yaitu larangan sewa
menyewa tanah menimbulkan penderitaan yang hebat bagi
bangsawan-bangsawan, karena mereka harus mengembalikan uang sewa yang
telah diterimanya dengan perhitungan yang lebih tinggi dari yang
diterimanya. Hal ini diantaranya yang menjadi sumber Perang Diponegoro
(1825-1830).
Perang ini meminta perhatian dan
pengorbanan yang cukup banyak dari Belanda. Keadaan ini memaksa Belanda
belum dapat campur tangan pemerintah daerah sepenuhnya. Baru sesudah
selesai perang, hal tersebut dapat dilaksanakan. Sesudah perang ini
bahkan Sunan dan Sultan benar-benar dianggap sebagai Pegawai Negeri
dengan menerima gaji dari pemerintah.
Sesudah perang Diponegoro selesai,
pengikut-pengikutnya yang tetap membenci Belanda banyak yang
meninggalkan tempat tinggalnya dan pergi keluar daerah. Kebanyakan dari
mereka ini kemudian mengganti namanya atau menghilangkan gelar-gelarnya
yang biasa dipakai. Hal ini untuk menghindari agar tidak diketahui atau
ditangkap oleh Belanda. Mereka pada umumnya hidup sebagai rakyat biasa,
yang tidak ada sangkut pautnya dengan pemerintah Belanda. Di daerah
Tulungagung juga kita jumpai orang semacam ini, yaitu yang dikenal
dengan sebutan “Mbah LANGKIR”, bahkan dia dianggap sebagai wali, mungkin
karena perbuatannya yang aneh-aneh, atau mungkin karena pernah mengajar
mengaji. Setelah meninggal, orang ini dimakamkan di desa Winong. Di
dekat bekas rumah kontroliran (tempat tinggal Bupati sekarang) ada bekas
“pakipon” Mbah LANGKIR dan sampai sekarang tempat tersebut masih
dianggap keramat. Kira-kira pada tahun 1948 tempat ini diperbaiki oleh
Belanda.
9. Jaman Tanam Paksa (Cultur Stelsel) 1830-1870
Akibat Perang Diponegoro dan
perang-perang lainnya di luar Jawa, ditambah dengan akibat pengaruh
Perancis di negeri Belanda serta adanya perang-perang Eropa, keuangan
negeri Belanda menjadi kosong. Sebab itu Indonesia yang merupakan negeri
jajahan Belanda merupakan tempat untuk mencari keuntungan guna menutup
hutang-hutang negeri Belanda.
Rencana perubahan politik untuk daerah
dijajahkan, sudah sejak tahun1827 disampaikan oleh Du Bus kepada
pemerintahnya. Pokok-pokok rencananya sesuai dengan rencana Elout dan
jelas bertentangan dengan rencana Van Der Capellen.
Tatpi rupa-rupanya pemerintah Belanda
masih ingin terus mempertahankan prinsip-prinsip yang pernah
dilaksanakan VOC dahulu yaitu pengerukan kekayaan Indonesia untuk
kepentingan negeri Belanda. Karena itulah rencana perubahan politik yang
diterimanya adalah rencana yang dikemukakan oleh Van Den Bosch yang
lebih sesuai untuk maksud-maksud tersebut. Rencana ini terkenal dengan
sebutan “Cultur Stelsel” (Tanam Paksa).
Van Den Bosch diangkat sebagai Gubernur
Jendral pada tahun 1827 dan tahun 1829 berangkat ke Indonesia. Dia tiba
di Indonesia tahun 1830, tiga bulan sebelum perang Diponegoro selesai.
Aturan-aturan menurut rencana Van Den Bosch itu termuat di dalam staatsblad tahun 1834.
Menurut Van Den Bosch ketentuan-ketentuan
menurut rencananya itu tidak bertentangan dengan adat kebiasaan di
Indonesia, karena rakyat adalah penyewa-penyewa tanah pemerintah dan
sebagai gantinya mereka hanya diwajibkan membayar pajak berupa sebagian
dari hasil bumi yang harus diserahkan kepada pemerintah itu ditentukan
jenisnya, yaitu barang-barang yang dibutuhkan oleh pasaran dunia.
Pokok-pokok ketentuan Cultuur Stelsel itu antara lain sebagai berikut:
1. Dengan anak negeri diadakan perjanjian
bahwa sebagian dari tanah yang dikerjakan disediakan untu
menanam tanaman-tanaman yang hasilnya untuk pasaran dunia.
2. Luas tanah yang disediakan 1/5 dari sekalian sawah desa.3. Pekerjaan untuk mengerjakan tanaman pemerintah itu tidak boleh melebihi pekerjaan untuk mengerjakan sawahnya sendiri.
4. Tanah yang disediakan untuk pemerintah bebas dari pajak.
5. Hasil-hasil bumi yang telah disetor bila ditaksir harganya melebihi sewa tanah tanah yang diperhitungkan, kelebihannya akan dikembalikan.
6. Kerusakan tanaman yang terjadi karena bencana alam dipikul oleh pemerintah.
7. Penduduk bekerja dibawah pimpinannya sendiri-sendiri dan pegawai-pegawai Eropa mengawasi agar pengerjaan, pemungutan dan pengangkutan hasil-hasil tanaman dapat dilaksanakan sebaik-baiknya
8. Pekerjaan penduduk dianggap selesai bila tanaman sudah masak, sedangkan pengerjaan selanjutnya akan diatur oleh perjanjian-perjanjian lain.
Aturan-aturan di atas memang mengharuskan pemerintah Belanda berhubungan langsung dengan daerah-daerahnya sampai kedesa-desa.
Sebab itulah sesudah selesainya perang Diponegoro pemerintah Belanda segera mengadakan perubahan politik.
Sunan / Sultan, harus tunduk kepada pemerintah Belanda dan mereka cukup menerima gaji sebagai pegawai negeri saja.
Pada tahun 1831 dikeluarka penetapan
notaries untuk residen-residen yang baru diambil alih dari Kesunanan dan
Kesultanan. Komisi Penerima (Comisie Ontvangers) dengan beslit dan
Gurbenur Jendaral tanggal 17-5-1831 No. 436 bertindak sebagai pejabat
Pemerintah.
Residensi-residensi yang diambil alih tersebut meliputi : Karesidenan Madiun, Bagelan, Bajumas dan Kediri.
Kabupaten Ngrowo yang termasuk
Karesidenan Kediri pada masaini dipimpin oleh Bupati R.M.T. Jajaningrat
(putera Bupati Pringgodiningrat).
Selanjutnya bupati-bupati diawasi lebih
langsung lagi dan diminta untuk melaksanakan tugas-tugas lain disamping
hanya menyediakan penyerahan paksa dari hasil produksi.
Kontrolir-kontrolir juga dipekerjakan untuk mengawasi mereka dan dengan
demikian diletakkan dasar bagi suatu sistem pemerintahan yang
kekuasaannya meluas sampai kedesa-desa melalui penggunaan
pengawas-pengawas pemerintah bangsa Indonesia.
Bupati-bupati seperti halnya Bupati Ngrowo di Tulungagung mau tidak mau harus menjalankan ketentuan-ketentuan diatas.
Bukan hasil pertanian saja sekarang yang
diatur oleh Pemerintah Belanda, melainkan juga hukum dan tata tertib,
kesehatan dan pemeliharan kesehatan, pekerjaan umum, gedung-gedung
pemerintah, dan segi-segi lain dari kehidupan desa, yang sebelumnya
tidak pernah mendapat campur tangan yang berarti.
37 Peraturan-peraturan tentang Cultuur
Stelsel ini tidak memberatkan rakyat, tetapi dalam praktek kerjanya
banyak menyimpang dari ketentuan-ketentuan, sehingga penderitan rakyat
tetap berat bahkan makin meningkat dibanding dengan masa-masa
sebelumnya.
Perjanjian-perjanjian dengan rakyat
mengenai pemakaian tanah yang ditanami oleh pemerintah tak pernah
diadakan. Luas tanah yang ditanami tidak hanya 1/5 bagian, bahkan sampai
½ bagian dan dipilih tanah-tanah yang subur. Waktu bekerja yang
dibebankan kepada rakyat melebihi waktunya untuk mengerjakan sawahnya
sendiri.
Kadang-kadang rakyat harus bekerja berminggu-minggu pada jarak yang jauh dari rumahnya.
Makan minum dan kebutuhan-kebutuhan primer yang lain harus disediakan sendiri.
Dalam hubungan penanaman tebu, rakyat
harus berodi untuk membuat terusan-terusan, parit-parit, menebang kayu,
membuat batu merah, genteng dan sebagainya untuk keperluan pembuatan
pabrik-pabrik.
Sedang pajak tanah masih terus dipungut
karena pemborong-pemborong masih berani membayar tinggi. Singkatnya
segala peraturan mengenai Cultuur Stelsel menjadi aturan paksaan.
Cultuur procenten mendorong mereka untuk memeras rakyat.
Hasil bumi yang sangat dipentingkan pada
masa itu adalah Tebu, Teh, Tembakau, lada, kayu manis, dan nilai juga
ditanam. Perintah penanaman tanam-tanaman diatas dikeluarkan oleh
Gurbenur Jendral, dengan beslit tanggal 30-03-1832 No. 3 (Stbl. 1832).
Dan dikaresidenan Kediri percobaan penanaman diadakan didaerah Blitar.
Penanaman tebu mulai diadakan saat ini didaerah Tulungagung, yaitu
disepanjang daerah aliran sungai Brantas dan sungai Ngrowo. Pada tahun
ini pula pemerintah menentukan bahwa pajak harus dibayar dengan kopi.
Hal ini menunjukkan bahwa pasar dunia pemerintah mulai naik. Daerah
karesidenan Kediri penanaman kopi ini mulai diperintah tahun 1833
(Stbl). Tiap daerah, atas perintah Residen harus dapat menghasilkan yang
nilainya dua gulden perkapita. Dalam hubungan ini pemerintah Belanda
mengetahui bahayanya modal China. Sebab itu bagi mereka diadakan
larangan melakukan pekerjaan pertanian.
Hal ini mungkin pula dikhawatirkan makin
meningkatnya pemerasan terhadap rakyat. Bahkan untuk mencegah kebebasan
bergeraknya modal mereka diadakanlah peraturan tentang pajak penghasilan
bagi orang-orang China (Stbl. 1832).
Orang-orang China pada tahun 1846
memeperoleh kebebasan berdagang memasuki kota-kota karesidenan dan
kabupaten. Bahkan akhirnya mereka boleh menetap didaerah pula.
Kegiatan mereka dibidang perdagangan
terutama memeperdagangkan barang-barang tekstil dan kelontong dan
barang-barang impor lainnya.
Disini mereka bertindak sebagai penerus
barang-barang impor dari pemerintah untuk disebarkan kepada rakyat.
Kecuali itu orang-orang China ini juga ada yang memperdagangkan
hasil-hasil bumi yang tidak dilarang oleh pemerintah, dan kebutuhan
minyak bakar atau lain-lain yang dituntut rakyat, mereka layani dalam
bentuk perdagangan biasa.
Pengambilan sarang burung, yang dulu
banyak diborong oleh orang-orang China mulai pula diadakan larangan.
Cultuur Stelsel disamping membawa perubahan sistim pemerintahan sampai
ke desa-desa, juga merupakan pendorong merembesnya perekonomian uang dan
barang-barang impor sampai ke desa-desa. Orang-orang China sebagai
perantaranya.
Pemerintah mulai mengeluarkan uang kertas dan uang logam seri Javasche Bank sejak tahun 1832 (Stbl.).
Untuk meningkatkan kegiatan pelaksanaan
Cultuur Stelsel pemerintah mengeluarkan penetapan (Stbl.1836) tentang
pemeriksaan tanam-tanaman di Jawa Timur oleh bupati-bupati.
Mereka harus benar-benar giat mengawasi
penanaman didaerahnya masing-masing. Kemunduran tanaman atau produksi
didaerah dapat membawa turunnya pangkat mereka.
Masa yang benar-benar dirasakan berat
oleh pejabat-pejabat daerah dan rakyat terjadi sekitar tahun 1830 sampai
dengan tahun 1850, yaitu masa yang meliputi taraf yang mempersiapkan
sampai taraf memuncaknya nafsu memperoleh hasil sebanyak-banyaknya bagi
pemerintah Belanda. Antara tahun 1848 sampai 1850 terjadi kelaparan
beberapa kali di Jawa Tengah, karena adanya paceklik yang hebat sebagai
akibat petani-petani banyak meninggalkan sawah sendiri, tidak sempat
memelihara tanaman padinya.
Di daerah Grobongan menurut perhitungan 90 % penduduk meninggal karena kelaparan.
Jumlah penduduk didaerah itu 89.500 orang sisanya tinggal 9000 orang.38
Pada saat ini rakyat benar-benar tertekan
ekonomi rumah tangganya, Mereka tidak mampu mengadakan gerakan-gerakan
pemberontakan yang berarti. Memang dibeberapa daerah ada gerakan
kecil-kecilan seperti pembakaran kebun tebu dan lain-lain, tetapi tenaga
sudah lemah sehingga sambutan tidak ada. Meskipun demikian
penguasa-penguasa daerah yang merasa senasib-sepenanggungan dengan
rakyatnya sedapat-dapatnya berusaha menghidupkan jiwa perjuangan dan
ketabahan dalam menghadapi penderitaan-penderitaan.
Usaha R.H.T Djajaningrat bersama rakyat
mendirikan Masjid kota tahun 1847 kiranya dapat kita nilai sebagai usaha
menghidupkan jiwa perjuangan dan ketabahan rakyat daerah Ngrowo.
Disamping sebagai kelengkapan susunan kota kabupaten bangunan ini
merupakan tempat berkumpulnya ulama-ulama dan santri-santri. Dan
disinilah kiranya dapat dihidupkan mental keagamaan dan ketabahan di
dalam menghadapi kesulitan-kesulitan. Bahkan lebih dari itu, kemungkinan
adanya tempat berkumpul ini diharapkan menimbulkan kembali jiwa
perjuangan melawan kelaliman. Djajaningrat tentu tidak melupakan
perjuangan salah seorang familinya (yaitu Pangeran Diponegoro) yang
perjuangannya melawan Belanda tidak terlepas dari mental agama. Demikian
pula diwilayah kekuasaannya sendiri ada suatu desa perdikan, yaitu
Tawangsari, dimana di desa ini rakyat yang memiliki mental keagamaan
yang kuat tetap menolak campur tangan Belanda di daerahnya.
Hal ini tentu merupakan pendorong bagi
Djajaningrat untuk membangun tempat ibadah itu. Dan mengenai pembangunan
ini tentunya bukan atas kehendak atau bantuan pemerintah Belanda,
karena disepanjang lembaran-lembaran Staatsblad atau beslit-beslit tidak
kami jumpai mengenai hal pembangunan tempat ibadah ini. Pembangunan ini
tentu atas prakarsa pimpinan daerah dibantu oleh rakyatnya.
Bagaimanapun beratnya tekanan ekonomi
rakyat dewasa itu bukanlah menjadi penghalang tidak terbangunnya Masjid
itu sebab sampai kinipun masih dapat kita saksikan fanatisme agama dapat
mengesampingkan segala-galanya.
Undang-undang Dasar Negeri Belanda sejak
tahun 1814 sampai dengan tahun 1848 menetapkan bahwa raja mempunyai hak
penuh atas pemerintahan di negeri masing-masing jajahan, sehingga
pemerintah yang diberikannya kepada Gubernur Jenderal dan pelaksanaannya
dinegeri jajahan, Dewan Perwakilan rakyat tidak perlu mengetahui.
Malahan keuntungan kepada negeri Belanda, tiap tahun Twede kamer (Badan
Perwakilan Rakyat) menerima untung / uang dari Indonesia dengan tidak
boleh menanyakan dengan cara apa uang itu diperolehnya.39
Perubahan UUD Negeri Belanda yang terjadi
sesudah tahun 1848 adalah karena pengaruh Revolusi Pebruari di Eropa
dimana golongan Liberal memperoleh kemenangan. Di negeri Belanda-tokoh
Liberal yang menentang politik jajahan dewasa itu adalah Buron Van
Hoevell, yang pokoknya mendesak agar pemerintah memperhatikan
kepentingan rakyat Indonesia. Gubernur Jenderal harus melindunginya dari
tindakan sewenang-wenang.
Kemenangan golongan Liberal ini bagi
Indonesia baru tampak dengan terbentuknya Regerings Reglement (P.P untuk
daerah Jajahan). Pokok-pokoknya antara lain menyebutkan bahwa rakyat
harus dilindungi dari tindakan sewenang-wenang penetapan kerja paksa dan
penetapan pajak dan sebagainya.
Di samping itu hal yang sangat penting
bagi golongan Liberal sendiri ialah izin penyewaan tanah kepada
kapitalis-kapitalis guna menanamkan modalnya di Indonesia.
Meskipun sudah ada peraturan demikian
golongan Liberal-masih belum dapat menghalang-halangi diteruskannya
Cultuur Stelsel karena kenyataannya negeri Belanda masih belum dapat
melepaskan politik batig saldo (mencari kelebihan untung).
Atas pengaruh penulis-penulis dari golongan Liberal, akhirnya Cultuur Stelsel sedikit demi sedikit diperlunak dan dikurangi.
Di atas telah kita kemukakan bahwa tahun
1846 orang-orang China dengan beslit GG tanggal 29 Agustus 1846 No. 7
(Sttl) di perkenankan msuk dan menetap didaerah-daerah kabupaten; mereka
bergerak dalam bidang perdagangan eceran. Disamping itu juga masih
menjadi pemborong-pemborong pengangkutan barang-barang hasil bumi dari
daerah pedalaman.
Gudang-gudang mereka didirikan
ditempat-tempat tertentu, seperti di Bandar-bandar sungai tempat hasil
pertanian akan dikirim keluar atau tempat membongkar barang impor untuk
daerah-daerah. Di daerah Ngrowo bandar-bandar semacam ini kita dapati
sungai Ngrowo antara lain yang terdapat di desa Kutoanyar sekarang dan
di desa Plandakan, disebelah utara jembatan Grobogan Mangunsari. Sampai
masa akhir-akhir ini bekas-bekas peninggalan itu masih dapat kita lihat
berupa gudang minyak dan sebagainya. 40
Orang-orang China pada zaman ini sudah
mempunyai modal yang kuat yang dipupuk sejak masa-masa sebelumnya (VOC).
Atas kesanggupan mereka menyesuaikan diri pada setiap ada perubahan
politik, dan kemampuan mereka menggunakan uang untuk kepentingan ekonomi
mereka, sampai dewasa ini mereka mempunyai kedudukan sosial-ekonomi
yang relative lebih tinggi dari penduduk asli pada umumnya.
Tepatnya berkembang orang-orang China
didaerah-daerah itu rupa-rupanya mendapat perhatian pemerintahan Belanda
pada saat iu. Di kabupaten Ngrowo pada tahun 1861 (beslit G.G. tanggal
27 Maret 1861 No. 39- stbl) ditetapkan adanya pengurus untuk orang-orang
China, yiatu seorang letnan China. Pada saat ini pejabat bupati di
Tulungagung (Ngrowo) yaitu R.M.T Soemodiningrat (putera Djajaningrat
yang menjabat tahun 1856 – 1864. pada masa pemerintahannya, di kabupaten
Ngrowo ditetapkan adanya seorang menteri kali yang berkedudukan di desa
Pakis (Beslit G.G 22/1-1965 No. 3 Stbl). Tugasnya adalah mengatur
pembersihan sungai Ngasinan dari desa Ngasinan sampai Tulungagung. 41
Karena di Tulungagung – terletak gudang-gudang kopi dan garam pemerintah
(dikompleks Pasar Wage sekarang).
Pada masa Bupati ini pula kabupaten
Ngrowo dibagi menjadi dua distrik (1864 stbl), yaitu distrik kota
Tulungagung dan distrik Ngunut. Di distrik Ngunut ditempatkan seorang
kepala distrik (Wedana), seorang Mantri-Polisi, seorang Mantri Kopi dan
tiga orang Djogokarso.
Pengganti Bupati ini adalah Raden
Tumenggung Djojoatmodjo (1864-1865). Dia tidak lama memerintah.
Penggantinya ialah Raden Tumenggung Gondokoesoemo, yaitu putera Bupati
Soemodiningrat, menjabat tahun 1865 – 1879.
Pada masa rakyat Indonesia sangat
menderita, Hultatuli (Douwes Dekker) bekas residen di Lebak (Banten)
sngat berjasa bagi rakyat Indonesia, karena dia membeberkan hal
kesengsaraan rakyat dalam buku yang bernama max Havelaar, sehingga
banyak orang-orang Belanda mengakui kebenaran adanya kesengsaraan yang
timbul oleh Cultuur Stelsel. Sebab itu pada masa Fransenvan de Putte
menjadi menteri jajahan (1863 – 1866) diadakan perbaikan-perbaikan
antara lain penyerahan wajib cengkeh dan pala di Maluku dihapuskan.
Penanaman paksa yang lain dihapuskan pula, kecuali tebu dan kopi.
Demikian pula culture procenten dihilangkan.
Dari jenis-jenis tanaman yang paling
akhir penghapusannya adalaha tanaman kopi, yaitu tahun 1915. Sedang tebu
dihapuskan tahun 1870. Karena itu sehubungan dengan kenyataan ini maka
pabrik gula di Tulungagung, yaitu pabrik Mojopanggung yang didirikan
pada tahun 1852 masih tetap berjalan terus sebagai tempat pengolahan
hasil-hasil tebu di daerah ini. Direksi pabrik yang terkenal adalah tuan
Dinger. Setelah dia meninggal anak perempuannya yang menggantikan
pemimpin pabrik tersebut. Pabrik gula Kunir (Ngunut) didirikan pada
tahun 1927.
Pada tahun 1912 Nona Dinger yang
mempelopori eksplotasi marmer dan gamping di daerah selatan. Nona ini
bernama L.C. Dinger yang oleh rakyat lebih dikenal dengan sebutan “Nyah
kontring”.42
Pada tahun 1864 dikeluarkan oleh
pemerintah Belanda Undang-undang keuangan (Comptabliteits wet) dimana
ditentukan bahwa anggaran keuangan untuk daerah jajahan (Indonesia)
harus ditetapkan oleh Staten Generaal. Ini berarti bahwa Staten Generaal
dapat langsung mengontrol soal-soal keuangan daerah jajahan.
Penghapusan tanam paksa tebu terjadi
setelah keluar Undang-undang Gula (1870) dan sejak itu pabrik-pabrik dan
cara pengesahannya diambil alih oleh modal asing.
Selama berlangsungnya Cultuur Stelsel
sering terjadi kerusuhan-kerusuhan yang ditimbulkan oleh rakyat yang
merasa tertekan – ekonominya atau karena berat kewajiban-kewajibannya.
Hal-hal semacam ini oleh pemerintah Belanda ditindak dengan kejam tanpa
peradilan. Kantor pengadilan untuk kota-kota afdeling di Jawa dan Madura
baru diadakan pada tahun 1866 (beslit GG. Tgl. 31/12-1866-Stbl). 43
Hal ini sebenarnya dapat kita mengerti bahwa tidak lain adalah karena pengaruh golongan Liberal.
Kerusuhan-kerusuhan yang disimpulkan oleh
rakyat itu terutama terjadi di luar kota, seperti pada kebun-kebun
tebu, kopi dan hutan-hutan. Sebelum dibentuk kantor Pengadilan memang
pemerintah Belanda telah mengeluarkan instruksi untuk mengawasi hutan
yang lebih ketat (beslit G.G. tgl. 14/6-1866 Stbl).
Untuk daerah Ngrowo hutan-hutan yang harus diawasi secara teratur sebagai berikut :
a. Distrik pakunjen, meliputi hutan:
Tjatut, Telungsung, Sramanan, Djatiredjo, Retjoguru, Grendjeng,
Djatiprahu, Gilingsem, Lungurbuntung, Taming, dan Balang.
b. Distrik Kalangbret, hutan : Djatiwekas dan Kamal.
c. Distrik Ngunut, hutan : Djatidowo, Suramenggalan, Djamblang, Patak-banteng, Remang dan Bandjaredjo.
Cultuur Stelsel benar-benar lumpuh sejak
dikeluarkannya Undang-Undang Tanah (Agranisohe Wet) pada tahun 1871,
dimana modal-modal asing dapat bergerak beban terutama dalam bidang
pertanian dan perkebunan.
Oleh: Drs Suprayitno | September 24, 2009
BAB IV BUKU BABAD TULUNGAGUNG
BAB IV
SEJARAH KOTA TULUNGAGUNG
SEJAK AWAL BABAKAN INTERNASIONAL s/d AKHIR V.O.C
Sesudah runtuhnya kerajaan mojopahit
sejarah Indonesia mengancik jaman baru yang oleh Muh. Yamin disebut
babakan Internasional. Pada masa ini bangsa Indonesia berkenalan dengan
faham keagamaan baru serta bangsa barat. Kedua hal diatas membawa
perubahan didalam alam berfikir, berpolitik dan kehidupan social ekonomi
pada umunya.
Pembicaraan mengenai babakan ini akan
kita bagi pula menjadi pasal 2 (S) untuk mempermudah tinjauan kita
mengenai sejarah kota Tulungagung.
S.6. Persebaran Agama Islam di Jawa s/d berakhir Kerajaan Padang.
Didalam S ini kita tidak akan mngemukan
tinjauan mengenai sejarah Tulungagung karena pada jaman ini sejarah
Tulungagung terlalu gelap sekali. Pokok-pokok ini kita kemukakan hanya
untuk memperoleh gambaran sejarah garis besar persebaran faham Islam
serta munculnya kerajaan – kerajaan Islam dipulau jawa.
Menurut peninggalan-peninggalan yang ada
agama Islam mulai masuk ke Indonesia kurang lebih pada abad ke XIII,
yaitu disekitar daerah selat malaka. Di daerah ini pulalah timbulnya
kerajaan islam tertua di Indonesia. Kerajaan tersebut adalah kerajaan
Samudra – Pasai dengan rajanya Malik Al Saleh (1297).
Sebabnya kerajaan Islam tertua itu tumbuh
di tempat ini adalah sehubungan dengan strateginya tempat tersebut
dalam hubungan lalu lintas perdagangan internasional. Agama Islam masuk
ke Indonesia dengan jalan damai melalui pedagang – pedagang dari Gujarat
(India).
Pantai utara jawa yang dikuasai oleh
Bupati-bupati Mojopahit, mendapat kebebasan seluas-luasnya seperti
halnya daerah-daerah lain diluar pusat pemerintahan.
Bandar-bandar pantai utara Jawa
pemerintahan Mojopahit merupakan Bandar – Bandar yang ramai dikunjungi
pedagang – pedagang baik dari luar maupun dalam negeri. Wajar kiranya
kalau kerajaan-kerajaan Islam di Jawa tumbuh pertama kali didaerah
pantai. Hal ini hanya mungkin terjadi oleh keadaan makin lemahnya
pemerintah pusat (Mojopahit) dan makin besarnya jumlah penganut-penganut
Islam didaerah itu. Makin luasnya agama islam ini atas jasa
pengajar-pengajar agama di pondok-pondok, di langgar-langgar atau di
madrasah-madrasah. Tempat-tempat ini merupakan rumah-rumah pendidikan
yang dimasa tersebarnya agama islam.
Dirumah-rumah pendidikan semacam inilah
Ulama-ulama tekun mengajarkan agama penuh kekeluargaan dan berlaku untuk
segala lapisan masyarakat tanpa dibedakan golongan dan asal
keturunannya.
Ampel Denta, Gresik (Giri), Tuban dan
Kudus merupakan tempat-tempat yang terkenal adanya madrasah-madrasah
semacam itu. Pengajar-pengajar agama di tempat-tempat itu terkenal oleh
masyarakat sebagai “Wali”. Di pulau jawa umum dikatkan bahwa jumlah
wali-wali ituada delapan atau sembilan.[1] Masing-masing digelari
sebutan “SUNAN”
Wali-wali yang di maksud adalah :
1. Raden Rahmad, berkedudukan di Ampel Denta dekat Surabaya dikenal sebagai Sunan Ampel.
2. Makdum Ibrahim, putera Sunan Ampel berkedudukan di Drajat dikenal sebagai Sunan Drajat.
3. Masih Munad juga putera Sunan Ampel berkedudukan di drajat dikenal sebagai Sunan Drajat.
4. Raden Paku, sahabat sunan Bonang
berkedudukan di Gresik (giri terkenal sebagai sunan Giri. Sunan inilah
yang banyak meluaskan Islam di daerah Indonesia Timur)
5. Sunan Kalijaga di adilangu
Demak. Dia yang menggunakan dasar pertunjukan Wayang sebagai alat
penyebar cerita kepahlawan Islam.
6. Sunan Kudus
7. Sunan Muria (Makamnya digunung Muria)
8. Sunan Gunung Jati (Fatahillah) penyebar agama Islam di Banten. Dia dimakamkan di Bukit Jati Cirebon.
9. Syeh Siti Jenar karena dia
mengajarkan ajaran yang terlarang artinya belum bermanfaat untuk
diketahui umum maka dia dibunuh oleh wali-wali lain.
Menurut babad diantara wali-wali itu
Sunan Girilah yang giat memimpin perjuangan melawan Mojopahit.
Penambahan Bintoro berhasil membentuk kerajaan Islam Demak yang lepas
dari Mojopahit yang lepas dari Mojopahit juga atas bantuan Sunan Giri.
Kenyataannya bupati-bupati pesisir,
bangsawan-bangsawan dan pedagang-pedagang di daerah pesisir setelah
memeluk agama islam memang menolak adat keraton Hindu yang harus
mendewa-dewa raja dan menolak keharusan menyerahkan upeti. Karena itu
usaha pembebasan ini kemudia tercipta kerajaan Islam pertama yaitu
Demak (± 1500),
Perluasan Islam dan perkembangan
kerajaan-kerajaan pantai di Indonesia lebih dipercepat dengan datangnya
orang barat ke wilayah ini. Bangsa Barat yang pertama menginjak bumi
Indonesia dalam hubungan perdagangan adalah bangsa Portugis. Kedatangan
mereka kecuali berusaha mencari pusat rempah-rempah juga untuk
melanjutkan gerakan Perang Salib. Karena itu kedatangan orang Portugis
ini disertai permusuhan terhadap orang-orang Islam.
Dikuasainya Malaka oleh orang-orang
Portugis pada tahun 1511, menyebabkan makin tersebar luasnya Islam di
wilayah Indonesia. Demikian pula perkembangan kerajaan-kerajaan Islam di
Jawa tidak dapat kita lepaskan dari faktor kedatangan orang Portugis
ini. Sebagai kelengkapan tindakan orang-orang Portugis memusuhi agama
Islam, disebarkanlah agama Katholik. Karena itu agama ini pertama-tama
kita lihat perkembangan didaerah Maluku, yaitu tempat orang-orang
Portugis dapat menanamkan kuasanya.
Kerajaan Demak yang mengetahui bahasa
Portugis ini berusaha sekuat tenaga menentangnya baik secara langsung
menyerangnya pangkalan Portugis di Malaka maupun dengan jalan blokade
beras ynag sangat dibutuhkan orang-orang Portugis di tempat itu.
Adipati Kudus (oleh orang Portugis
disebut Pati Unus) yaitu putera Sultan Demak adalah pahlawan dari
kerajaan ini yang telah memimpin penyerangan langsung ke malaka
bersama-sama dengan Aceh. Serangan ini tidak berhasil bahkan dia gugur
sebagai pahlawan.
Trenggono pengganti Sultan Fatah adalah
Sultan yang giat berusaha mengislami dan mengusai daerah pesisir. Dia
mati terbunuh di Pasuruan dalam rangka menjalankan tugasnya itu (1548).
Sepeningglan Sultan Trenggono, Demak mengalami kekacauan perebutan
kekuasaan. Di antara mereka yang saling berebut kedudukan itu,
Adiwidjaja juga memperoleh kemenangan. Kemudian mendirikan pusat
kerajaan daerah pedalaman dan kekalahan daerah pesisir. Ini berarti pula
tenggelamnya cita-cita kebebasan yang menolak adat Hindu pula
penyerahan upeti. Cita-cita kebebasan tidak dapat dipertahankan lagi.
Rakyat dipedalaman statis. Faham raja sebagai titisan Dewa dan sangat
bertuah, tidak mudah dikikis dengan faham baru yaitu agama islam.
Sunan Kalijogo Syeh Siti Jenar dan
wali-wali lainnya terpaksa harus menggunakan persesuaian kebudayaan dan
filsafat Hindu-Budha untuk menyebarkan agama islam dipedalaman. Meskipun
demikian faham raja sebagai titisan Dewa yang di sembah-sembah dan
dihidupi dengan upeti tetap tidak dapat dienyahkan bahkan makin
berkembang lagi pada jaman Mataram Islam.
Padang mengalami keruntuhan ketika
pimpinan prajurit padang dijabat oleh Sutowidjojo. Dia berkeinginan
menguasai Tanah jawa dan bersiap-siap menentang pemerintahan Pusat.
Ketika sultan padang (Adidwidjojo)
mengetahui rencana Sutowidjojo ini berusaha akan menghukumnya tetapi
sudah terlambat. Prajurit-prajurit pengikut Sutowidjojo benar-benar
melaksanakan keinginannya dan berhasil dapat menguasai padang (1586).
Sejak inilah berdiri kerajaan Mataram Islam yang benar-benar sebagai
kerajaan pedalaman.
S.7. Mataram islam s/d perjanjian salatiga 1757
Sebagai raja mataram pertama Sutowidjojo menanamkan diri penembahan Senopati ing Ugologo Sajidin panoto gomo (1586 – 1601).
Selama pemerintahannya dia sibuk dengan
peperangan-peperangan penaklukan bupati-bupati pesisir yang selalu
menginginkan kebebasan. Banyak daerah yang sudah ditaklukan memberontak
lagi tetapi Senopati cukup mampu untuk mengatasinya. Dia dapat
mempertahankan kekuasaanya di Jawa Tengah dan jawa Timur, Cirebon dapat
dipengaruhi dan Galuh (disebelah selatan cirebon) menjadi daerah
kekuasannya.
Senopati meninggal pada tahun 1601 dan penggantinya adalah puteranya bernama Mas Jolang (1601 – 1613).
Pada masa pemerintahannya daerah-daerah
pesisir banyak yang memerdekakan diri lagi. Dengan susah payah dia harus
merebutnya kembali. Dia mati di desa Krapyak dan sejak ini dikenal
sebagai panembahan sedo Krapyak. Puteranya menggantikan sebagai raja
yang Penembahan agung Senopati ing Ngalogo Ngabdur rachman (1613 –
1645). Kecuali itu dia dikenal pula dengan sebutan Prabu Agung
Hanjokrokusumo. Pada saat Sultan agung memerintah berkembanglah
kekuasaan V.O.C di Indonesia. Bahkan dibawah gubernur Jenderal J.P.Z.
Coen, V.O.C. dapat merebut Jakarta dari Banten dan dibangun sebagai
pusat kekuasaan V.O.C dengan nama Batavia (1619)
Sultan Agung adalah Sultan Mataram yang
terbesar. Dia tidak hanya giat dibidang politik saja, tetapi bidang
social-ekonomi kebudayaan, sastra dan filsafat pun mendapat perhatian.
Sastra gending yaitu sebuah buku berisi filsafat dia sendiri yang
menulisnya.
Mengenai keadaan Mataram pada masa itu oleh seorang Belanda dilukiskan sebagi berikut :[2]
Tanah datar sungai Solo suburnya sebagai surga di dunia.
Desanya banyak sekali. Di jalan-jalan
ramai karena banyak orang yang memikuk barang-barang dan banyak gerobak
yang berisi padi dan lain-lain. Gajah Mada pula kelihataan, kendaraan
orang bangsawan. Kereta besar dan banyak penduduknya. Buat makan
disembelih tiap hari 4000 ekor ternak.
Kalau gunung-gunung di pojok karta dipalu
datanglah didalam setengah hari saja 200.000 orang bersenjata dari
kampong-kampung di ibu negeri itu dan sekelilingnya. Pakaian Sultan
tidak seberapa bedanya dengan orang biasa. Baginda diajari oleh
pelajar-pelajar perempuan. Pada waktu “Seba” (menghadap raja) Sultan
duduk diatas bangku cendana yang terletak diatas batu balai (sitinggil)
yang kira-kira 3 m3 luasnya dibawah beberapa pohon kecil dalam
jambangan. Dikelilingi duduk beberapa ratus punggawa, tiga jajar.
Sebab itu diadakan dua kali sepekan pada hari Senin dan Kamis. Pada hari Sabtu diadakan main perang di alun-alun.
Lukisan diatas tidak banyak bedanya
dengan kenyataan yang kita ketahui di daerah-daerah kabupaten, termasuk
di daerah Tulungagung pada masa sebelum berakhirnya kekuasaan Pemerintah
Hindia belanda.
Kebaisaan dan kebudayaan keraton semacam
itu kemudian menjadi pula kebiasaan dan kebudayaan masa-masa berikutnya,
serta tidak hanya di pusat saja tetapi didaerah-daerah kadipaten
ataupun kabupaten hal seperti itu terus dihidup-hidupkan sampai waktu
yang lama sekali.
Bila kita perhatikan bangunan kota
seperti Tulungagung juga pola susunan kota keraton dipaki pula. Rumah
kabupaten memiliki bagian-bagian tertentu seperti: keputren, taman sari,
tempat kereta, alun-alun dengan pohon beringin, masjid disebelah barat
alun- alun dan sebagainya.
Demikian pula kebiasaan-kebisaan seperti latihan kecekatan dan keberanian dilaksankan pula didaerah-daerah.
Di Tulungagung sebelum tahun 1915 masih
ada kebiasaan latihan ketangkasan dan keberanian semacam itu yang
dikenal dengan sebutan “rampokan”. Wujud latihan ini ialah dengan
melepaskan harimau di tengah alun-alun yang sekeliling tepinya telah
dipenuhi oleh prajurit dan punggawa-punggawa kabupaten, bahkan
kepunggawa-punggawa harus diperlihatkan.
Sehubungan “permainan” inilah disebelah
barat rumah kabupaten ada bagian yang dinamakan “kandang macan” yaitu
tempat harimau-harimau sebelum dibawa kagelanggang rampokan.
Cita-cita politik Sultan Hancokrokusumo
adalah mempersatukan pulau Jawa dibawah naungan Mataram serta mengusir
V.O.C yang mulai memperkuat kedudukannya di Batavia.
Daerah pesisir yang dikenal Mataram
sebelum dia naik tahta telah banyak yang melepaskan diri lagi. Untuk
menaklukan daerah-daerah ini dikirim oleh Sultan Agung tentara yang
dipimpin Surontani (Suroantani) ke Jawa Timur. Penguasaan daerah pantai
tidak berhasil, tetapi beberapa daerah pedalaman dapat dikuasai.
Kegagalan daerah pantai itu dapat kita fahami karena daerah pesisir
sudah kuat pertahanannya dan mereka berkemauan keras untuk memerdekaan
diri. Atas pimpinan Adipopati Surabaya dewan penasehatnya Sunan Giri,
Lasem, Tuban, japan, Wirosobo, Pasuruan dan Madura bersekutu menyerang
Mataram.
Tetapi sebelum sampai didaerah Padang
Ekspedisi itu kekurangan pangan dan pedapat dipukul mundur oleh tentara
Sultan agung (1615).
Daerah pedalaman yang sudah ditundukkan
pada umumya tidak banyak mengadakan perlawanan seperti daerah pantai.
Meskipun demikian pengawasan daerah pedalaman itu masih harus diperketat
sebab sewaktu-waktu dapat dipengaruhi daerah pantai yang terdekat.
Untuk pengawasan dan pelaksanaan pemerintah di daerah-daerah pedalaman
itu ditempatkan orang yang dapat dipercaya dan biasanya telah banyak
berjasa.
Tumenggung Surontani[3] yang telah
berjasa menguasai daerah pedalaman di Jawa Timur ditempatkan oleh Sultan
Agung di daerah Wajak untuk melaksanakan pengawasan dan pelaksanaan
perintah-perintah Sultan di daerah itu.
Sejak itulah Surontani sebagai Tumenggung
Wajak berusaha memajukan daerah yang menjadi tanggung jawabnya.
Pertanian diperkembangkan terutama disekitar desa-desa sepanjang sungai
Ngrowo. Usaha ini adalah sesuai dengan sifat negeri Mataram yang agraris
itu sehingga semua kepala-kepala daerah wajib memperkembangkan
pertanian di daerah masing-masing yaitu untuk menunjang tegaknya negara
agraris mataram.
Pasa suatu ketika Tumenggung Surontani
pernah berselisih dengan Sultan Agung. Kemungkinan ini disebabkan oleh
usaha Sultan agung untuk mengadakan monopoli kerajaan mengenai penjualan
beras. Usaha ini dijalankan dalam rangka blokade ekonomi untuk
menentang V.O.C Surontani yang merasa terikat oleh ketentuan itu tidak
dapat memperdagangkan beras secara bebas sehinnga dia menetang.
Meskipun demikian Sultan agung yang
berjiwa besar itu setelah persoalan pokoknya dapat diselesaikan tetap
membiarkan Tumenggung itummemimpin daerahnya. Sultan Agung terhadap
V.O.C sangat menentang karena adanya V.O.C di Batavia merupakan
penghalang penyatuan pulau Jawa. Untuk menguasai banten sultan agung
harus mengambil siasat dahulu mendekati V.O.C, V.O.C dimintai bantuan
untuk menyerang Banten, tetapi permintaan ini oleh V.O.C di tolak,
karena V.O.C insaf. Bila Banten telah tunduk kepada Mataram akhirnya
Batavia tentu diserang juga oleh Sultan Agung. Atas penolakan V.O.C itu
Sultan Agung juga memahami maksud V.O.C sebenarnya, yaitu akan
menanamkan kekuasaanya di Indonesia.
Pada tahun 1628 dan tahun 1629
diseranglah Batavia oleh Sultan agung dengan beramacam-macam siasat.
Tetapi penyerangan tersebut mengalami kegagalan karena kalah kuat
persenjataannya dibanding dengan persejataan V.O.C. Demikian pula soal
persediaan makan dan perhubungan merupakan faktor penting kegagalan
tersebut.
Kegagalan ini belum menyebabkan Sultan
Agung berputus asa. Dijalankannya terus siasat blokade beras terhadap
V.O.C di Batavia dan disamping itu Sultan agung berusaha mempersiapkan
penyerangan berikutnya. Dalam rangka persiapan-persiapan ini bukalah
daerah Krawang menjadi desa-desa dan persawahan sedangkan penduduknya
didatangkan dari daerah Sunda dan Jawa Tengah. Maksud utama tidak lain
adalah membentuk daerah gudang beras, sehingga sewaktu-waktu diadakan
penyerangan ke Batavia bahaya kekurangan makan bagi prajurit-prajurit
mataram dapat dihindari. Politik Blokade beras itu ternyata menjadi
lumpuh ketika Malaka dikuasai V.O.C tahun 1641. Politik blokade melemah
armada perdagangan rakyat di Mataram sendiri karena mereka tidak dapat
bebas berdagang dan banyak orang yang merubah penghidupan mereka menjadi
petani-petani.
Sebelum Sultan agung sempat melaksanakan penyerangan ke Batavia untuk ketiga kalinya, dia sudah meninggal (1645).
Di bidang kebudayaan semasa Sultan agung
memerintah mendapat perhatian pula penyesuaian pertunjukan wayang dengan
kehidupan dewasa itu, sehingga bentuk-bentuk wayang yang kita lihat
dewasa ini lebih mirip dengan pertunjukan yang diciptakan pada jaman
Sultan Agung.
Demikian pula usaha penyesuaian
kebudayaan lama dengan kebudayaan baru dapat kita lihat dari adanya
hari-hari raja yang disatukan. Hari Raja Grebeg disamakan waktunya
dengan hari raja Idul Fitri. Sekaten dijatuhkan pada bulan Maulud.
Sejak tahun 1555 Q (1633 H) dimulai
perhitungan tahun jawa, yaitu tahun 1555 Q yang perhitungannya menurut
jalannya matahari dilanjutkan perhitungan menurut jalannya bulan seperti
perhitungan tahun Hijrah.
Sepeninggalan Sultan Agung mataram
diperintah oleh Sunan Amangkurat I (1645 – 1677). Sunan ini politiknya
terhadap V.O.C berbeda dengan ayahnya. Dia mengadakan kompromi dengan
V.O.C tahun 1646 dia mengikat perjanjian dengan V.O.C mengadakan tukar
menukar tawanan perang.
Sifat Amangkurat I ini mendapat tantangan
dari lingkungan istana, bangsawan-bangsawan, pegawai-pegawai dan
ulama-ulama. Keadaan semacam ini malah menyebabkan dia bertindak lebih
kejam, baik terhadap pegawai-pegawai, bangsawan-bangsawan, ulama atau
rakyat. Reaksi terhadap kekejaman Amangkurat I ini memuncak dalam bentuk
perang yaitu perang trunodjojo (1674 – 1679). Tahun 1677 Trunodjojo
dapat menguasai karta (ibu kota) dan Amangkurat I lari keluar kota. Pada
saat pelariannya dia meninggal diperjalanan dan dimakamkan di
Tegalwangi atau Tegalarum.
Putera mahkota ini yaitu Adipati anom menggantikannya dengan gelar amangkurat II (1677 – 1703).
Sunan ini sepenuhnya menggantungkannya
penyelesaian Perang Trunodjojo kepada V.O.C dan sebagaimana biasa V.O.C
bersedia membantunya dengan syarat-syarat yang merugikan Mataram. Sebab
itu sesuadah perang selesai, Amangkurat II harus menanda tangani
perjanjian dengan V.O.C (1678) isinya ; Amangkurat II di akui sebagai
sunan Mataram biaya peperangan harus di tanggung sunan dan selama hutang
perang itu belum lunas Bandar-bandar dipantai utara Jawa Tengah
dikuasai oleh V.O.C kecuali itu daerah krawang, Priangan, Semarang dan
sekitarnya menjadi milik V.O.C. Mataram harus mengakui monopoli V.O.C
dan diwajibkan menjual beras 100 pikul tiap tahun. Dari isi perjanjian
di atas jelas dapat kita lihat bahwa V.O.C telah besar pengaruhnya
terhadap Mataram. Karena beratnya perjanjian tersebut maka Amangkurat II
berusaha akan mengingkari perjanjian itu dan dia ingat bahwa kompeni
(V.O.C) makin membahayakan Mataram kedatangan Suropati ke Mataram
disambut baik bahkan kemudian bersekutu akan melawan V.O.C di Mataram.
Dia berhasil membunuh Kapitan Tak pemimpin serdadu V.O.C ynag dikirim ke
Kartosuro.
Suropati kemudian ke Jawa Timur untuk menyusun kekuatan.
Sebelum V.O.C dapat menyelesaikan
persoalan tersebut, dengan Amangkurat II tahun 1703 Amangkurat II
meninggal. Penggantinya adalah Sunan Mas yang dikenal Sunan Amangkurat
Mas.
Hutang Mataram kepada V.O.C dirasa sangat
berat oleh Sunan ini. Karena itu diapun berusaha menentang V.O.C dia
menggabungkan diri bersama Suropati di Jawa Timur.
Pangeran Puger (paman Amangkurat mas)
ketika istana ditinggalkan Sunan amangkurat Mas, diangkat oleh V.O.C
sebagai Sunan dengan disaksikan oleh bupati-bupati Sampang, Surabaya dan
pasuruan. Pager bergelar Paku Buwono I (1703 – 1719) V.O.C bersedia
membantunya memadamkan pemberontakan Suropati. Atas bantuan VOC
pemberontakan dapat dipadamkan pada tahun 1706, sedangkan Sunan Mas
masih melanjutkan perjuangan bersama anak-buah Suropati. Karena tipu
muslihat VOC akhirnya dia menyerah (1708) dan kemudian dibuang ke
Sailan.[4]
Sebagai balas jasa Paku Buwono I terhadap
VOC dia harus menandatangani perjanjian (1709) yang akibatnya lebih
memperkokoh kekuasaan VOC di Mataram. Isinya antara lain menyebutkan :
1. Seluruh Priangan, Cirebon, Madura Timur menjadi milik VOC
2. VOC menempatkan serdadu pendudukan di Mataram
3. Hutang Mataram dianggap lunas, tetapi harus mengirim beras 60 kojan tiap tahun selama 25 tahun.
4. Di samping itu kabupaten-kabupaten harus menyerahkan hasil bumi lainnya kepada VOC.
Untuk mengatur segala pemungutan dan
penyerahan hal-hal tersebut, segera diadakan rapat bupati. Dalam
pertemuan ini ditentukan pula seluruh Mataram dibagi menjadi 43
Kabupaten. Demikian pula ditentukan hasil bumi yang harus diserahkan
kepada VOC, yaitu : nila, gula, kapas, kulit kerbau, dan kacang.
Adipati Surabaya (Djajengrono) menentang ketentuan-ketentuan tersebut dan atas desakan VOC oleh Paku Buwono I dibunuhnya.
Pada saat ini Tulungagung yang semula
hanya sebagai ke tumenggungan Wajak dirubah menjadi kabupaten Ngrowo,
yang berkedudukan di Kalangbret.[5] Kyai Ngabei Mangundirono adalah
orang yang ditunjuk sebagai bupati Ngrowo di Kalangbret. Dia menjabat
sebagai Bupati kira-kira sampai masa pemerintahan Amangkurat IV
(1717-1717), Amangkurat IV adalah putera Paku Buwono I.
Pada tahun 1727 atas nama Sunan, Bupati
Kyai Ngabei Mangundirono memberi kuasa kepada (Saudaranya) Haji Mimbar
di Tawang Sari untuk melaksanakan hukum nikah dan sebagainya kepada
orang yang membutuhkannya.
Piagam pemberian wewenang menikahkan itu
sampai sekarang masih disimpan di desa Majan oleh keturunan-keturunan
(keluarga) Haji Mimbar. Piagam ini ditulis dengan tulisan tangan dengan
huruf Arab-Gundul. Transkripnya kita kutip sebagai berikut :
Asesulih ingsun ing sira Dimas haji
Mimbar ing angetrapaken hukum nikah ing wong wadon kang duwe wali lan
kang ora duwe wali, lan ing talak, lan ing faasah lan ing dihar, lan ing
li’an, lan ing ila’, lan ing nata, lan ing nikah, lan ing aqidah, llan
ing rujuk, lan ing khulu’, lan ing ngidwadl, lan ing ngakawin lan ing …,
lan ing kene, lan ing zakat, lan ing fitrah, lan ing waris, lan ing
ta’sir kang metu sangka perkara kang wus kasebut ngarep iku mau kabeh.
Amatrapi hukum ing wong kang anak ing bumi desa kang pada kereh ing
adiku Mas Hadji Mimbar kabeh.
Serat, Ahad 16 Robi’ul akhir tahun 1652.
Kajaban titi mangsa yen ana kawula utawa
umat anyuwun nika kena ora adiku Mas Hadji Mimbar iya nglaksani apa kang
dadi sarat nikahe kawula lan umat.
CATATAN :
- Sebelah kanan atas piagam tersebut ada stempel bentuk bligen, warna merah dengan tulisan tak terbaca.
- Traskripsi oleh Indarwanto – Tahun (di atas adalah tahun Jawa).
Dari piagam tersebut kita dapat memahami
bahwa pemberian wewenang semacam ini hanya untuk memperlancar pekerjaan,
karena kenyataannya daerah seperti desa Tawangsari.[6] makin
berkembang, sehingga penduduk yang berurusan mengenai perkawinan
tersebut tidak perlu jauh-jauh pergi ke kota Kabupaten. Dan hal semacam
ini menurut hukum Islam dapat diselesaikan di daerah itu sendiri dengan
pemberian wewenang seperti di atas dari penguasa.
Pengganti Kyai Ngabei Mangundirono kemungkinan besar adalah Tondowidjojo keturunan Surontani.
Bupati inilah yang membangun kota
kabupaten di Kalangbret sehingga benar-benar merupakan kabupaten. Bekas
kota kabupaten ini sekarang disekitar Pasar Kliwon Kalangbret
Tulungagung, Desa (dukuh) Ketandan adalah bekas tempat kediaman bupati
atau keluarganya. Sepeninggalan Paku Buwono I, Mataram kacau karena
adanya perebutan tahta.
Keluarga keraton menghendaki pangeran
Blitar sebagai pengganti Paku Bowono I tetapi VOC mengangkat Sunan Prabu
sebagai Amangkurat IV (1719 – 1727). Pengganti Amangkurat IV adalah
Paku Bowono II (1727 – 1749).
Pada pemerintahan Sunan ini terjadilah
pemberontakan orang-orang Cina di Jawa Tengah melawan VOC dan berhasil
dapat mengurung Semarang (1740).
Paku Buwono II membantu orang-orang Cina.
Tetapi setelah orang-orang Cina dapat diundurkan oleh VOC dan berhasil
dengan bantuan Cakraningrat dari Madura, Sunan membalik memihak kepada
VOC Mas garendi (Cucu Sunan Mas) karena sikap Paku Buwono II itu
diangkat oleh rakyat sebagai Sunan dan terkenal sebagai Sunan Kuning.
Mas garendi berhasil menguasai ibu kota
dan Paku Buwono II terpaksa menyingkir ke Ponorogo disertai wakil-wakil
kompeni. Dengan bantuan VOC istana dapat direbut kembali.
Paku Buwono II dapat menduduki tahta
kembali dan dia harus menanda tangani perjanjian dengan VOC (1743).
Isinya antara lain menyebutkan bahwa pengangkatan Patih dan Bupati
pasisir harus mendapat persetujuan VOC.
Tahun 1744 Sunan mendirikan ibu kota baru yaitu Surakarta Adiningrat.
Kyai Basarlah dari Ponorogo yang telah
berjasa melindungi Sunan selama masa pelariannya dikota itu, ditawari
kedudukan sebagai penguasa tetapi ditolaknya dan dia hanya meminta
perdikan untuk daerah Tegalsari (tempat kediamannya). Penolakan ini
tentu tidak lain hanyalah akan menjadi alat pemeran VOC.
Sebagai guru mengaji dan daerahnya
sebagai daerah perdikan merupakan satu-satunya jalan untuk menjauhi VOC
dan VOC tentu tidak akan berani menjamah daerah perdikan semacam ini.
Tahun 1746 Gubernur Jenderal Van Imhoff
mengunjungi Surakarta untuk memperluas hak-hak kompeni tetapi hal ini
menimbulkan kekecewaan pengeran-pengeran sehingga saudara-saudara Sunan
memberontak..
Pangeran Mangkubumi yang merasa
direndahkan oleh patih Pringgelojo dan menyebabkan dia dimarahi oleh
Gubernur Jenderal Van Imhoff dimuka umum kemudian pergi meninggalkan
Surakarta dan menggabungkan diri dengan pemberontak yaitu raden Mas Said
putera pangeran Mangkunegro.
Sejak inilah terjadi perang mangkunegoro (1746 – 1755).
Tahun 1749 Paku Buwono II meninggal diganti oleh puteranya yaitu Paku Buwono III (1749 – 1788)
Sepeninggal Paku Buwono II inilah
Pangeran Mangkubumi memproklamir diri sebagai Sunan Mataram dan dengan
tepat memperoleh dukungan rakyat.
Paku Buwono III dan VOC tidak mampu
menghadapi perlawanan Mangkubumi dan Raden Mas Said ini. Atas kelicikan
VOC Paku Buwono III dapat dipengaruhi agar mengadakan perdamaian dengan
Mangkubumi dan memberikan sebagian daerahnya kepadanya. Paku Buwono III
dapat menerima saran tersebut dan perang dapat diakhiri dengan
perjanjian Gianti (1755). Dalam perjanjian itu ditentukan Mangkubumi
mendapat separo dari daerah dan penduduk Mataram. Oleh VOC dan Paku
Buwono III Mangkubumi III diakui sebagai raja yang berdiri sendiri,
bergelar Sultan Hamengku Buwono I (1755 – 1792). Pusat pemerintahan
adalah di Ngajogjakarta adiningrat yang dulu merupakan tempat dia
memproklamirkan diri sebagai Sunan di Mataram (1749) dan disini pula
tempat menghimpun.
Pada saat Sultan ini memulai perjuangan
salah seorang murid Kyai basarlah dari Ponorogo menjadi pengikut
Mangkubumi (Sultan hamengku Buwono). Hal ini wajar karena gurunya
sendiri adalah orang yang pada dasarnya menolak kerjasama dengan VOC
seperti kita terangkan diatas Murid Kyai basariah tersebut bernama Kyai
abu mansur.
Abu mansur sebagai pengikut Mangkubumi
mendapat tugas untuk menghidupkan jiwa perjuangan melawan VOC. Tugas ini
tentu disesuaikan dengan kemampuannya. Sebab itu abu mansur sebagai
guru mengaji hanya bertugas memperkuat mental dan iman orang-orang yang
menjadi pendukung perjuangan Mangkubumi. Dan sehubungan dengan inilah
tahun 1750 Mangkubumi memberi wewenang sepenuhnya kepada Abu mansur
untuk mendidik dan memperkuat mental orang-orang didaerah tempat
tinggalnya yaitu desa tawangsari dengan dasar-dasar ajaran islam.
Kyai ini rupa-rupa tidak puas dengan
memperkuat mental dan iman Islam untuk rakyatnya tetapi diajarkan pula
kemampuan bela diri yaitu pencak silat.[7]
Wujud pemberian wewenang oleh mangkubumi
kepada Kyai abu mansur itu ianlah pengesahan Desa tawangasari sebagai
desa perdikan. Pengesahan ini disertai dengan piagam yang bunyinya
sebagai berikut :
Ingkang dihinsalah ingsun siro
Abu Mnsur, pakeniro ingsun maringi
Panguwoso merdiko marang siro, yaitu
Tanah iro sarehiro kanggo sak turun –maturuniro
Ingkan dihin ingsun maringi panguwoso marmane
Lan ingsun paringi nawolo ingsun paparenthana
Kang merdeko
Sing sopo noro angertokno, amaidoa
Iku banjur hunjukno marang ingsun
Bakal ingsun palaksono hono alun – alun
Ingsun, sakehing najakaningsum
Asmo dalem Mangkubumi lawuh pengandiko dalem sinangkalan
Buta ngerik mongso jalmi
Terjemahan bebas ini piagam tersebut kurang lebih sebagai berikut :
Pertama-tama salamku kepadamu Abu Mnsur
Atas perintahku kuberi kamu kekuasaan merdeka yaitu
Tanah dan daerah yang kau kuasai semua
Untuk kamu dan anak-anak cucumu
Itulah sebabnya aku membeti kekuasaan
Lebih dahulu dan kuberikan suratku (ini)
(sebagai penguat) pemerintahan yang merdeka
barang siapa tiada melaksanakan, mencela
segera laporkan kepadaku akan kuberi hukuman dialun –alun (disaksikan) oleh semua penggawa-punggawa/pembantu-pembantu ku
Tertanda mangkubumi
Parintah (ini) ditandai
Dengan Candrasangkala :
Buta ngerik mongso jalmi
(tahun 1675 Jawa tahun 1750 Masehi)
Piagam diatas ditulis dengan huruf jawa dan berstempel meraba yang berisi tulisan : Asmo dalem Mangkubumi
Tetedakan namolo dalem
Dawuh Pangandiko daelem
Perlu kita ketahui bahwa di
DesaTawangsari pada masa itu masih merupakan desa yang meliputi desa
winong, Majan dan tawangsari sensiri. Pamecahan menjadi tiga desa itu
terjadi kemudian.
Kembali kita kepada pemecahan daerah Mataram menurut perjanjian Gainti tahun 21755
Pembagian daerah ini terutama didasarkan atas kesuburan daerah dan jumlah penduduk yang keduanya harus dibagi samarata.
Sultan Hamengku Buwono mendapat 87.050 jiwa sedangkan Sunan Paku Buwono III masih tetap memiliki 85.350 jiwa.[8]
Adapun pembagian daerah mancanegara (daerah kabupaten yang jauh dari pusat) disebutkan sebagi berikut : [9]
Untuk Surakarta :
Daerah-daerah jagaraga, Ponogoro, separuh
pacitan, Kediri, Blitar dengan srengat (ditambah dengan Lodotjo). Pace
(Nganjuk-Brebek), Wirosobo (Mojoagung), Blora, najumas, Kaduwang.
Untuk Yogjakarta :
Daerah-daerah Madiun, Magetan, Caruban,
separuh pacitan, Kertosono kalangbret, Ngrowo (Tulungagung), Japan
(Mojokerto), Japan (Bojonegoro0, Teras,Keras (Ngawen) Grobogan.
Menurut pembagian diatas Kalangbret dan
Ngowo termasuk daerah kesultanan (Jogya),. Didalam babad kabanaran,
disebutkan Tulungaung termasuk daerah kesultanan abahkan Kalangbret dan
Ngrowo sebenarnya administrative merupakan satu kabupaten seperti yang
telah kita kemukan mengenai masa pemerintahan Paku Buwono I.
Sesudah berdirinya kesultanan Jogja belum
berarti bahwa kekacauan sudah selesai, sebab R.M.Said masih belum
menghentikan pemberontakannya. Bahkan dengan bertahtanya Mangkubumi
sebagai Sultan Hamengku Buwono I musuh R.M.Said bertambah.
Dia harus menghadapi Paku Buwono III, VOC
dan Hamengku Buwono I. Meskipun demikian dia belum juga menjerah.
Sunan, Sultan dan VOC kenyataannya tidak mampu mengatasi pemberontakan
R.M. Said. Dan seperi yang sudah – sudah VOC dapat mempengaruhi Paku
Buwono III untuk memberikan sebagian daerahnya kepada R.M.
Said.Persetujuan mengenai hal ini ditanda – tangani di Salatiga pada
tahun 1757. R.M.Said memperoleh bagian kesunanan untuk selama – lamanya
dan sejak itu dia bergelar P.A.Mangkunegoro dengan daerahnya
Mangkunegoro.
Dari dua petistiwa pemberontakaan diatas
ternyata VOC sudah menunjukkan ketidak mampuannya menyelesaikan dengan
kekerasan seperti sebelumnya. Dalam peristiwa itu penjelasan yang
dicapai oleh VOC hanya berkat kelicikannya mengadakan hasutan sehingga
fihak – fihak yang bertentangan dapat didamaikan kemudian membagi daerah
demi perdamaian mereka sendiri.
Kenyataan seperti itu menunjukkan bahwa
VOC pada saat itu sudah mulai mundur. Hal itu sebabnya bermacam – macam.
Yang jelas bahwa sepanjang kegiatan VOC untuk meluaskan kekuasaannya
dilakukan dengan peperangan –perangan.
Peperangan – peperangan ini sangat
memakan biaya dan betapapun banyaknya hasil yang diperoleh VOC sebagaian
besar untuk membiayaan perang.
Ditambah bermacam – macam sebab lain,
korupsi, perubahan politik di Eropa, persaingan dagang dan lain – lain
ternyata mengharuskan VOC gulung tikar.
Tahun 1799 VOC oleh pamerintah Belanda
serta segala harta dan tanggung jawab diambil alih oleh Pemerintah.
Sejak saat inilah Indonesia dibawah kekuasaan Kolonialisme Belanda.
Next
Oleh: Drs Suprayitno | September 24, 2009
BAB III BUKU BABAD TULUNGAGUNG
BAB III
TINJAUAN MENGENAI DAERAH TULUNGAGUNG
PADA ZAMAN HINDU – BUDHA DI INDONESIA
Seperti yang sudah kita sebutkan pada Bab
yang lain, tinjauan kita mengenai sejarah daerah ini akan kita dasarkan
penjamanan (periodisasi) yang umum didalam sejarah Indonesia. Juga
seperti pada Bab yang lalu kita tidak akan dapat mengetahui banyak
tentang hubungan sejarah Indonesia dengan daerah yang akan kita cari
ketergantungan ini. Hubungan itu mesti ada hanya bukti-bukti yang sampai
ketangan kita dewasa ini memang sangat kurang bahkan boleh dikata tidak
ada. Apa lagi pada awal masuknya agama Hindu dan Budha ke Indonesia,
tidak banyak kita ketahui sejarah daerah-daerah Indonesia pada umumnya,
kecuali daerah-daerah tertentu seperti Kutai, Palembang- Jambi, Jawa
Barat dan sebagainya.
Meskipun sejarah daerah Tulungagung pada
awal kedatangan agama-agama tersebut sampai kira-kira abad ke IV tidak
banyak kita ketahui, namun pada pasal 2 (S) berikut akan kami kemukakan
pula garis besar perkembangan sejarah zaman Hindu – Budha di Indonesia,
khususnya sejarah di Jawa Tengah, karena saat-saat itulah merupakan saat
terjadinya dasar-dasar kehidupan yang berbeda dengan zaman-zaman
sebelumnya.
S.1 Zaman Hindu – Budha Sejak Abad ke IV sampai dengan abad ke VIII
Di dalam sejarah Indonesia biasa
dikatakan bahwa mulai adanya pengaruh Hindu – Budha di Indonesia
kira-kira sejak abad ke IV Masehi. Hal ini didasarkan atas
penemuan-penemuan dari peninggalan kerajaan kuno yang sudah menunjukkan
sifat-sifat kehidupan. Diantara kerajaan-kerajaan kuno itu ialah yang
terdapat di Kutai (Kalimantan Timur) kira-kira abad ke IV Masehi,
Tarumanegara (Jawa Barat) kira-kira abad ke V Masehi,
Melayu-Tulang-Bawang (di Sumatra – Selatan) kira-kira abad ke VII,
Kanjuruhan (Malang Utara) kira-kira abad VII.
Disebut-sebut pula nama kerajaan kuno
lain, yaitu Kalingga, tetapi dimana tempatnya, sampai kini para sarjana
belum ada kesatuan pendapat.
Peninggalan-peninggalan dari kerajaan di
atas berupa prasasti-prasasti bertulis yang jumlahnya masih sedikit
sekali. Untuk mengetahui sejarahnya kadang-kadang dipakai pula
sumber-sumber yang berupa berita-berita dari negeri lain umpamanya dari
negeri Cina, Arab, Yunani, dsb. Karena sedikitnya bahan-bahan tertulis
sebagai sumber sejarah kerajaan-kerajaan tersebut maka kerajaan-kerajaan
itu digolongkan ke dalam kerajaan-kerajaan yang hidup pada zaman
Proto-Sejarah (Mula-Sejarah- atau Ambang Sejarah).
Yang penting kita ketahui dalam hubungan
ini, bahwa kerajaan-kerajaan di atas betul-betul sudah menunjukkan sifat
kehinduan, baik agama, kebudayaan maupun sistem pemerintahannya. Kalau
kita perhatikan kerajaan-kerajaan di atas, ternyata kerajaan yang
terhitung tua adalah kerajaan-kerajaan di Kutai yang hidup kira-kira
abad ke IV M.
Apakah benar kerajaan tersebut merupakan
kerajaan Hindu tertua di Indonesia? Kita memang tidak dapat menyatakan
secara positif. Orang sampai sekarang mengakui kerajaan tersebut sebagai
kerajaan Hindu yang tertua di Indonesia, tidak lain hanya berdasarkan
bukti-bukti peninggalan, yang sampai sekarang memang
peninggalan-peninggalan di Kutai itulah yang merupakan
peninggalan-peninggalan yang paling tua. Jadi pernyataan yang menyatakan
bahwa faham Hindu masuk ke Indonesia pada ± abad IV itu hanya merupakan
petunjuk bahwa benar-benar pada abad tersebut di Indonesia sudah ada
pengaruh Hindu.
Kenyataannya, sejak awal abad Masehi
bangsa Indonesia sudah dikenal oleh orang-orang Yunani dalam hubungan
perdagangan.[1] Dalam hal ini dapat kita simpulkan bahwa diantara
daerah-daerah di Indonesia ini sudah ikut meramaikan perdagangan
internasional pada masa itu, walaupun sifatnya hanya sebagai daerah yang
menjual barang-barang hasil bumi kepada orang-orang asing yang datang
ke tempat ini.
Kegiatan perdagangan di wilayah Timur
(Asia) dewasa itu terutama terjadi oleh adanya kegiatan perdagangan
negara-negara besar seperti India dan negeri Cina. Dan mengingat letak
Indonesia yang strategis (tampan) dalam hubungan lalu lintas kedua
negara itu, maka jelas bahwa daerah ini merupakan daerah persinggahan
yang penting. Bahkan lebih dari itu melihat kenyataan bahwa negeri ini
merupakan negeri yang subur, yang dapat menjadikan bahan-bahan dagangan
internasional, seperti rempah-rempah, beras, hasil-hasil hutan dan
sebagainya, dengan tegas kita dapat mengatakan bahwa negeri ini
merupakan “dasar” tempat bertemunya pedagang-pedagang dari luar negeri.
Karena itu kalau kita perhatikan betul-betul, kerajaan-kerajaan tertua
di Indonesia dari zaman ini kesemuanya terdapat di daerah-daerah di tepi
pantai, atau di daerah pedalaman yang dapat ditempuh melalui
sungai-sungai besar Tarumanegara melalui sungai Citarum, Kutai melalui
sungai Mahakam, Kanjuruhan melalui sungai Brantas dan sebagainya.
Kegiatan perdagangan dewasa itu tidak
hanya melulu berdagang saja, tetapi disertai pula dengan kegiatan
keagamaan. Di samping berdagang, pelajar-pelajar juga mengutamakan
berziarah ke pusat-pusat keagamaan, yaitu India. Dan karena itu
Indonesia yang merupakan tempat pertemuan pedagang-pedagang asing itu,
wajar pula menjadi tempat bertukar fikiran mengenai soal-soal agama.
Tidak mengherankan kalau Sriwijaya, sebagai negara laut terbesar di Asia
Tenggara antara abad ke VI s.d. abad ke VIII, pernah menjadi pusat
kebudayaan agama Budha yang terbesar di Asia Tenggara.
Hal ini jelas dari pernyataan seseorang
musafir yang bernama Itsing, yang menyarankan kepada jama’ah-jama’ah
dari negerinya yang akan berkunjung ke India, sebaiknya singgah dahulu
di Sriwijaya untuk belajar aturan-aturan bangsa Sanskerta dan Agama,
karena hal-hal tersebut di tempat ini lebih mudah dipelajari.[2]
Kembali kepada soal kedatangan faham
Hindu di Indonesia, kita berkesimpulan bahwa sebelum agama itu tampak
memberi sifat kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia, tentu sudah tersebar
lebih dahulu, sehingga umum mengetahui nilai-nilai baiknya dan kemudian
tegas-tegas penguasa / raja memeluknya. Dan dalam hal ini selanjutnya
segala mengenai kekuasannya didasarkan atas kebiasaan-kebiasaan menurut
agama Hindu.
Siapakah penyebar-penyebar agama Hindu di
Indonesia ini ? Pendapat lama menyatakan bahwa penyebar Hinduisme di
Indonesia ini adalah orang-orang India, baik mereka itu golongan
Brahmana, Kasatria, Waisya ataupun Sudra.[3] Tetapi pendapat baru yang
dikemukakan oleh Prof. Dr. J. G. De Casparies, yang menyatakan bahwa
penyebar-penyebar faham Hindu di Indonesia adalah Bangsa Indonesia
sendiri. Karena kegiatannya dibidang perdagangan, mereka banyak mengenal
kebiasaan-kebiasaan asing, akhirnya tertarik akan kebiasaan-kebiasaan
tersebut. Bahkan kemudian pihak penguasa (Kepala Suku / Raja) mampu
mengirimkan pemula-pemulanya belajar keluar negeri (India) untuk
memperdalam kebiasaan / agama yang dipandang baik itu.
Dan ketika kembali ke tanah air, mereka ditugaskan menyebarluaskan kebiasaan / agama yang telah dipelajari itu.
Bukti-bukti yang memperkuat pendapat ini
ialah adanya kenyataan peninggalan-peninggalan dari zaman itu lebih
banyak yang menunjukkan sifat-sifat ke Indonesianya. Sebagai contohnya,
relief-reliefnya (gambar timbul) pada candi-candi, bentuk bangunan,
patung perwujudan raja-raja yang telah meninggal, semuanya menunjukkan
ciri-ciri khas ke Indonesiannya. Bahkan mengenai faham kasta di
Indonesia, menunjukkan perbedaan-perbedaan yang jauh dibanding dengan di
India. Di India faham kasta diartikan penggolongan masyarakat menjadi 4
golongan, yaitu golongan : Brahmana, Kesatria, Waisya, dan Sudra.
Disamping itu faham kasta diartikan sebagai perbedaan dalam pergaulan
sosial dari masing-masing golongan.[4]
Di Indonesia faham kasta hanya diartikan
sebagai nama-nama golongan di dalam masyarakat, sedang dalam pergaulan
sosial mereka tidak dibeda-bedakan. Hal ini jelas bila kita pelajari
mengenai riwayat Gajah Mada dan Ken Arok. Kedua tokoh ini adalah
manusia keturunan rakyat biasa, tetapi manusia yang hidupnya ditentukan
oleh sejarah, mereka dapat jadi tokoh penting pada suatu negara. Ini
berarti seorang Sudra dapat menduduki tempat-tempat tertinggi dibidang
pemerintahan yang biasa diduduki oleh golongan kesatria. Dan ternyata
selama mereka menduduki jabatan-jabatan tersebut tidak pernah ada
seorang yang berusaha menjatuhkannya atas dasar kekastaanya. [5]
Sejarah kerajaan Hindu-Budha yang sudah
tidak lagi digolongkan ke dalam zaman Proto-sejarah, antara lain
kerajaan Sriwijaya (kerajaan Budha) ± abad ke VII s/d abad XIII. Dipulau
Jawa yaitu kerajaan Mataram Kuno (kerajaan Hindu-Siwa) mulai tumbuh ±
abad ke VIII.
S.2. Zaman Hindu-Budha abad VIII sampai abad X
Selama masa ini kerajaan Hindu-Budha yang
terkenal di Jawa hanyalah terdapat di Jawa Tengah, yaitu kerajaan Mdang
atau Mataram Kuno (lengkapnya : Mdang i bhumi Mataram ri Poh Pitu).
Prasasti tertua yang menunjukkan adanya
kerajaan ini adalah prasasti Canggal (daerah Kedu) yang berangka tahun
dalam bentuk candra sangkala.[6] berbunyi : Srutindria rasa (tahun 654
Saka = tahun 732 M). Sebab itu kerajaan ini dianggap mulai tumbuh
sekitar abad ke VIII.
Kerajaan ini mula-mula diperintah oleh
Raja Sanjaya dan kemungkinan karena jasa-jasa Sanjaya mendirikan
kerajaan Mdang ini, maka keturunan-keturunannya tidak melupakannya.
Mereka mengakui Sanjaya sebagai cikal bakalnya raja-raja yang memerintah
masa-masa berikutnya.
Masa pemerintahan keluarga Sanjaya
(Dinasti Sanjaya) di Mdang ini baru berakhir kira-kira awal abad ke X,
yaitu bersamaan dengan pindahnya pusat kekuasaan Mdang ke Jawa Timur.
Kerajaan yang dipimpin dinasti Sanjaya
jelas menunjukkan sifat-sifat kehinduannya. Hasil-hasil kebudayaan yang
berupa candi-candi merupakan bukti-bukti jelas. Kebanyakan candi-candi
peninggalan dinasti Sanjaya ini terdapat didaerah Jawa Tengah bagian
utara dan kesemuanya merupakan candi Hindu-Siwa. Candi-candi yang
terdapat di Jawa Tengah bagian selatan kebanyakan bersifat Budha. Karena
sejak tahun 778 s.d. tahun 856, di Jawa Tengah berkuasa dinasti lain,
yaitu : dinasti Syailendra, yang semua raja-rajanya menganut agama Budha
Mahayana.
Dalam masa ini dinasti Sanjaya rupa-rupanya tersisihkan dan mengakui kekuasaan tertinggi dari dinasti Syailendra.
Masa pemerintahan dinasti Syailendra
tidak lama, tetapi menunjukkan masa-masa yang gemilang. Candi besar
seperti Borobudur, Sewu, Mendut, dan sebagiannya Adalah candi Budha
dari masa ini. Ketika kira-kira tahun 856 kekuasaan dinasti Syailendra
agak lemah, maka keturunan Sanjaya berusaha merebut kekuasaan tertinggi
lagi, dan berhasil dapat memerintah kembali. Untuk menunjukkan bahwa
dinasti Sanjaya mampu juga mendirikan bangunan-bangunan besar seperti
Borobudur, Sewu, dan sebagainya, maka didirikan oleh dinasti Sanjaya ini
candi Hindu terbesar dikompleks candi Budha di daerah selatan tadi,
yaitu Candi Prambanan.
Dinasti Sanjaya yang terakhir memerintah
Mdang di Jawa Tengah adalah Rakai Wawa. Pada masa ini mulai diadakan
kegiatan-kegiatan di Jawa Timur, baik politik maupun sosial-ekonomi.
Pembantu utama Rakai Wawa adalah Mahamantinya, yaitu Mpu Sindok. Dan
ketika Wawa meninggal, dialah yang menggantikannya sebagai raja Mdang.
Pada saat pemerintahan Sindok ini pusat kerajaan Mdang dipindahkan ke
Jawa Timur.
Demikian secara singkat perkembangan
kekuasaan di Jawa Tengah. Apakah peranan dinasti-dinasti tersebut
didalam perkembangan sejarah Jawa Tengah ? Dibawah ini sekedar kita
adakan tinjauan.
Dengan berkuasanya dinasti Sanjaya, agama
dan kebudayaan Hindu tersebar luas di daerah Jawa Tengah. Sedangkan
agama dan kebudayan Budha, dinasti Syailendralah penyebar-penyebarnya.
Penyebaran kedua faham di atas besar
sekali pengaruhnya terhadap perubahan-perubahan struktur sosial, alam,
fikiran, politik, ataupun kebudayaan di Jawa Tengah. Dan
perubahan-perubahan yang terjadi dewasa ini menjadi dasar kehidupan
sosial, alam, fikiran, politik dan kebudayaan masa-masa selanjutnya,
tidak hanya di Jawa Tengah saja, bahkan di Jawa Timur dan Bali.
Sebelum Hindu-Budha berpengaruh, sendi
masyarakat lama adalah perbedaan umur, yaitu hanya ada golongan tua dan
golongan muda. [7] Yang muda patuh, tunduk dan hormat kepala yang tua,
karena yang tua lebih berpengalaman, ahli dalam adat, tahu
segala-segalanya. Seorang pemimpin (Kepala Suku / Ketua Adat) tentu
dipilih orang-orang yang memenuhi syarat-syarat umur, kecakapan,
keberanian, tahu adat kebiasaan. Orang tua adalah pusat penghormatan.
Sebab itu roh-roh nenek moyang mendapat penghormatan lebih dari yang
lain-lain, karena merekalah yang paling tua.
Datangnya pengaruh Hindu-Budha membawa
perubahan sikap mental pemimpin-pemimpin. Merekalah berusaha
menyesuaikan dengan adat-kebiasaan baru itu, sehingga sebagai pemimpin,
mereka tidak hanya merasa sebagai orang tua yang tahu adapt,
berpengalaman, yang di percaya rakyat dan sebagainya. Tetapi kini mereka
benar-benar merasa sebagai orang yang berkuasa. Sebagai penjelmaan Dewa
yang memerintah di dunia, sebagai raja. Jika mereka sudah lanjut
usianya, sebelum meninggal telah menunjuk dahulu calon penggantinya
(turun-temurun).
Untuk memperkuat kedudukannya sebagai
penguasa, raja memberi peranan penting kepada ulama/pendeta.[8] Yaitu
dibebani tugas menimbulkan kepercayaan rakyat bahwa raja adalah titisan
Dewa. Cara yang dipakai dengan mengadakan upacara-upacara keagamaan dan
akhirnya pemberian “Abisekanama (nama nobat”) kepada raja.
Jadi jelas bahwa pendeta adalah sumber
kekuatan raja, sebab itu mereka mendapat tempat tersendiri di keraton
dan memperoleh perlakuan yang memuaskan.
Rakyat yang telah mengakui raja sebagai
penjelmaan Dewa, harus patuh akan perintahnya, dan harus rela
mempersembahkan segala sesuatu untuk raja. Dengan demikian rakyat akan
memperoleh berkah raja atau Dewa.
Bila seorang raja meninggal, diapun masih
harus di hormati seperti halnya roh nenek-moyang dahulu. Karena raja
meninggal berarti kembali menjadi “batara”, yaitu bersatu kembali dengan
dewanya semula. Dan agar rakyat tetap dapat memujanya, abu jenazahnya
dicandikan (cinandi = dihormati) disertai dengan patung perwujudan yang
sesuai dengan dewa yang menitis kepada raja itu. Kebutuhan raja makin
lama makin meningkat, sehingga membutuhkan pembantu-pembantu atau
punggawa-punggawa disekitar istana. Di daerah-daerah pembantu-pembantu
itu cukup kepala-kepala daerah / desa, dan tugasnya menampung pesembahan
rakyat kepada raja (upeti). Pembantu-pembantu di daerah-daerah /
desa-desa ini sebenarnya masih merupakan pemimpin-pemimpin rakyat yang
dipilih oleh rakyat sendiri.
Baru kemudian ditunjuk oleh raja
pembantu-pembantu yang menguasai daerah yang agak luar, yaitu yang
disebut Bupati (bhumi = daerah; pati = penguasa).
Dari uraian-uraian di atas kita dapat mengambil beberapa kesimpulan, bahwa adanya pengaruh Hindu-Budha menyebabkan ;
a. timbulnya golongan masyarakat “istana” dan “kawula”
b. golongan istana benar-benar
menjalankan adat kebisaan baru, sedang golongan kawula masih tetap
mempertahankan adat lama.
c. Timbulnya susunan pemerintahan yang lebih teratur, yaitu pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
d. Doktrin (ajaran) raja sebagai
titisan Dewa, mengharuskan rakyat patuh akan perintah-perintah raja, dan
ini menjadi dasar tertibnya pemerintahan.
e. Pertanian makin maju, karena kehidupan raja harus dijamin oleh rakyat dalam bentuk upeti.
f. Kebudayaan berkembang sesuai dengan keagamaan juga berlaku.
S.3. Abad ke X s.d. akhir Mojopahit
Berakhirnya kerajaan Mdang di Jawa Tengah
ditandai dengan pemindahan pusat kerajaan oleh Mpu Sindok ke Jawa
Timur. Sejak ini mulailah sejarah negeri Mdang di Jawa Timur.
Selama jaman kerajaan Mdang di Jawa
Tengah, seperti telah kita lihat pada kesimpulan-kesimpulan S.2, sudah
terjadi bentuk pemerintahan yang benar-benar teratur dan negeri Mdang
merupakang negeri pertanian. Dasar pemerintahan yang tercipta pada zaman
Jawa Tengah itu merupakan dasar kehiduan politik sampai akhir
Hindu-Budha di Jawa Timur. Atas dasar sistem dan susunan pemerintahan
itu kerajaan di Jawa Timur berkembang sedikit demi sedikit, sehingga
sistem dan susunan pemerintahan benar-benar mencapai bentuknya yang
lengkap pada zaman Mojopahit.
Pada zaman Mpu Sindok memerintah di Jawa
Tengah mulai terlihat adanya perubahan-perubahan di dalam kehidupan
sosial-ekonomi. Tidak hanya kehidupan pertanian saja yang menjadi dasar
tegaknya kerajaan / pemerintahan, tetapi pada saat itu kehidupan
pelayaran-perdagangan mulai berkembang, bahkan akhirnya ternyata dasar
kehidupan ini lebih dapat memberi kemungkinan berkembangnya kerajaan
besar. Itulah kiranya yang menjadi pendorong Mpu Sindok mengambil
ketetapan memindahkan pusat pemerintahan ke Jawa Timur. Jadi tujuannya
mula-mula untuk memperkembangkan pelajaran / perdagangan.
Mengapa hal itu harus dilaksanakan di Jawa Timur ?
Sebabnya :
a. Jawa Timur merupakan daerah yang
pantainya disebelah utara memiliki muara-muara sungai besar seperti
sungai Solo dan sungai Brantas. Pada muara-muara sungai semacam itulah
dapat dibangun pangkalan-pangkalan dagang ataupun pengkalan-pangkalan
pertahanan. Sungai-sungai besar itu penting sekali sebagai alat
perhubungan dengan daerah pedalaman. Barang-barang hasil pertanian dan
hasil hutan dengan mudah dapat diangkut melalui sungai-sungai tersebut.
b. Daerah Jawa Timur merupakan
daerah yang banyak tanah datarnya, sehingga daerah ini masih
memungkinkan tetap berlangsungnya kehidupan pertanian.
c. Jawa Timur lebih dekat letaknya
dengan daerah rempah-rempah pada saat itu merupakan bahan perdagangan
pokok di Indonesia.[9]
Disamping itu faktor lain yang penting
pula, ialah ancaman negara Sriwijaya terhadap negara
pelayaran-perdagangan yang baru tumbuh, karena dewasa itu Sriwijaya
masih merupakan negara laut yang kuat di Asia Tenggara.
Dengan demikian dapat kita fahami mengapa
Sriwijaya membiarkan kerajaan Mdang sebelum Sindok memerintah. Karena
selama itu kerajaan Mdang hanya merupakan kerajaan pertanian yang tidak
menganggu kepentingan Sriwijaya di laut, bahkan negeri Mdang dianggap
sebagai negara penghasil barang-barang perdagangan, yaitu beras, hasil
hutan dan binatang. Ketika negeri Mdang berusaha akan menghidupkan
pelayaran-perdagangan (yaitu pada masa pemerintahan raja Wawa), timbulah
ancaman Sriwijaya. Dan ancaman ini benar-benar memuncak menjadi
penyerangan pada masa pemerintahan Dharmawangsa Tguh, yang mengakibatkan
kerajaan Dharmawangsa hancur dan Raja meninggal (1017 M).
Betapapun jayanya Sriwijaya dilautan
akhirnya juga mengalami kemunduran. Jawa Timur tetap dapat berkembang
menjadi negara besar, sehingga pada masa Airlangga memerintah dapat
mendesak kekuasaan Sriwijaya di laut Indonesia dibagian Timur. Bahkan
Airlangga dapat memakan Sriwijaya untuk mengakui kekuasaannya di
Indonesia bagian timur.
Pada masa Airlangga berkuasa, benar-benar
pelajaran perdagangan mengalami kemajuan. Hasil-hasil pertanian di
daerah pedalaman berkelebihan sehingga merupakan barang-barang dagangan
untuk diekspor. Karena itu pada masa ini dibangun pelabuhan-pelabuhan
sungai, pelabuhan utama dimuara sungai Brantas yaitu Hudjung Galuh.
Disini tempat bertemunya pedagang asing antara lain pedagang-pedagang
dari negeri Sailan, Benggala, Tjampu, Birma, dsb.
Barang-barang yang diperdagangkan sebagai
barang impor antara lain barang-barang keramik, tekstil dan
barang-barang perhiasan. Sedang dari Jawa Timur diekspor, hasil-hasil
hutan, beras, kayu dan kulit binatang. Sebab itulah pelajaran sungai dan
pengairan mendapat perhatian secukupnya. Usaha-usaha dalam hubungan ini
antara lain dibuat waduk-waduk dibeberapa tempat disekitarnya aliran
sungai Brantas. Demikian pula di buat tanggul-tanggul dibeberapa tempat
dengan tujuan untuk menghindari bahaya banjir, kecuali itu mungkin untuk
mengatur aliran sungai Brantas agar tetap mempermudah pelayaran
disungai itu. Diantaranya tanggul yang dibuat / diperbaiki adalah
tanggul di desa Wringin Sapta. Dalam soal tanggul di desa ini raja
menaruh perhatian sepenuhnya karena rakyat telah berulang-ulang
memperbaiki tanggul tersebut secara bergotong royong, tetapi
berkali-kali gagal, sehingga akhirnya rakyat terpaksa mengirim utusan ke
istana untuk melaporkan kepada raja. Atas laporan inilah raja kemudian
memerintahkan memperbaiki dan memperkuat tanggul tersebut. Usaha ini
ternyata sangat bermanfaat bagi petani-petani dan juga bagi
pedagang-pedagang yang berlayar menyusuri sungai tersebut.
Peristiwa ini terjadi pada tahun 1037
dana dicatat oleh Airlangga didalam prasasti yang diketemukan di daerah
Kelagon (Sidoarjo).
Dimanakah letak Wringin Sapta itu ?
Di dalam buku-buku sejarah Indonesia yang
dapat kita baca dewasa ini, memang kurang jelas dimana letak Wringin
Sapta itu sebenarnya. Ada yang menyatakan letak desa tersebut juga dekat
desa Kelagen, tempat diketemukannya prasasti itu, karena dalam prasasti
itu memang disebut-sebut tentang pengesahan sebagai desa perdikan
terhadap desa Kemalagyan, yang telah berjasa bergotong royong membuat
bendungan dan terusan. Kamalagyan inilah yang kini menjadi desa Kelagen.
Kira-kira 6 km disebelah barat laut desa Kelagen, katanya ada desa yang
bernama Ringin Pitu.[10]
Benarkah desa ini masih ada sekarang ? Dan terletak di daerah Sidoarjo ?
Sungai brantas didekat desa Wringin sapta
(Wringin Pitu) itu berkelok-kelok, sehingga kemungkinan pada kelokan
pertama itu yang sering tanggulnya mengalami kerusakan. Demikian
keterangan lebih lanjut pendapat di atas.
Memperhatikan nama Wringin Sapta pada
prasasti Kelagen diatas, kami akan menunjukkan nama yang searti dengan
nama di atas, yang terdapat di daerah Tulungagung, yaitu desa Ringin
Pitu yang letaknya di dekat sungai Brantas, bahkan tidak ada sejauh 1
km. Sungai Brantas dekat dengan daerah inipun banyak berkelok-kelok.
Dari desa Ringin Pitu menuju kearah barat melalui desa Kepatihan,
Kenayan, Kedungwaru dan beberapa tempat disekitar desa-desa tersebut.
Sering dijumpai lapisan pasir setebal kira-kira 1 antara lain, 5 m di
bawah permukaan tanah sedalam 2 a 3m. Banyak orang pada saat membuat
sumur, menggali tanah untuk keperluan tertentu, menjumpai lapisan pasir
semacam itu. Bahkan tidak jarang orang-orang di sekitar desa tadi
membangun rumah tanpa membeli pasir yang biasanya diangkut oleh
tukang-tukang gerobag/cikar dari sungai Brantas yaitu daerah Ngantru
(Tulungagung utara).
Melihat kenyataan ini, maka tidak
mustahil kalau daerah/desa-desa tersebut dahulu merupakan daerah /
desa-desa yang sering ditimpa banjir sungai Brantas. Jenis pasir yang
terdapat di daerah tersebut sejenis dengan pasir Brantas dan jelas
berbeda dengan pasir sungai Ngrowo.
Andaikan lapisan-lapisan pasir tersebut
terjadi oleh adanya letusan Gunung Kelud kiranya tidak mungkin setebal
itu. Sebab letusan gunung Kelud sekitar tahun 1951 yang abunya tersebar
jauh ke barat (sampai ke daerah Jogja), hujan abu / pasir di daerah
Tulungagung tidak sampai membentuk lapisan setebal 1 dm. Sebab itu tidak
mungkin lapisan pasir yang setebal 1 a 1,5 m itu berasal dari letusan
Gunung Kelud.
Bila kita hubungkan kenyataan di atas
dengan cerita rakyat tentang dibangunnya alun-alun Tulungagung.[11] Kita
berkesimpulan bahwa Pusat Kota Tulungagung sekarang ini, dahulu
merupakan daerah rendah. Bahkan sekitar tahun 1990 daerah sekeliling
gedung IAIN sekarang (bekas gedung CHTH) masih merupakan tanah rendah
tempat penampungan air dari sebelah timur, yaitu dari jurusan stasiun
dan sebelah timurnya lagi (desa Kepatihan).
Air yang terkumpul ditempat penampungan
itu kemudian dibuang mengalir kearah barat, turun kesungai Ngrowo.
Selokan sebagai jalan pembungan ini sekarang masih ada (tetapi tinggal
kecil saja) yaitu yang terdapat disebelah utara tempat pemotongan babi.
Desa Ringin Pitu pada saat itu (1037)
mungkin merupakan desa yang paling tinggi dibandingkan dengan daerah /
desa-desa disebelah baratnya. Meskipun demikian bila saat-saat sungai
Brantas meluap airnya sering menyebabkan tanggul-tanggul yang dibangun
oleh rakyat di desa itu.
Kita dapat membayangkan, bahwa permukaan
sungai Brantas dewasa itu masih dalam, tepi-tepinya masih curam, tetapi
betapapun dalamnya permukaan air sungai itu, bila dihulu (Malang dan
Blitar) hujan tidak henti-hentinya, tetap memungkinkan permukaan sungai
itu mencapai setinggi-tingginya, sehingga dapat mencapai tanggul-tanggul
disepanjang tepinya dan dapat mengakibatkan kerusakan-kerusakan dan
daerah Ringin Pitu (Tulungagung) yang boleh banyak menimbulkan
kerusakan-keruskaan bila dibanding dengan arus sungai itu yang sudah
dekat dengan muaranya, seperti Mojokerto, Sidoarjo dan sebagainya.
Mungkinkah Wringin Sapto yang diketahui
dalam prasasti Kelagen itu Wringin Sapta yang sekarang menjadi Ringin
Pitu didaerah Tulungagung ? Hal tersebut dapat kita hubungkan lagi
dengan peristiwa 5 tahun (1032) sebelum Airlangga memerintahkan
memperbaiki tanggul di Wringin Sapta itu. Peristiwa dimaksud adalah
peristiwa penaklukan daerah selatan semasa Airlangga berusaha mengusai
daerah-daerah bekas kekuasaan mertuanya (yaitu Darmawangsa – Tguh).
Keterangan tentang peristiwa ini diuraikan oleh Airlangga dalam
prasastinya yang sekarang dikenal sebagai “Batu Kalkuta”, yaitu pada
bagian yang berbahasa Sanskerta. Kita kutipkan sebagian yang sudah
diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia sebagai berikut.[12]
26. Maka adalah pula dalam negeri
seorang wanita yang mempunyai tenaga kuat-kuasa, tak ubahnya dengan
seorang raksasi. Dengan tak gentar apa-apa maka pergilah beliau
(Airlangga penyalin) memasuki daerah yang hampir tak dapat dimasuki itu.
Hal itu kejadian pada tahun Saka 954; pada waktu itulah raja mendapat
kenamaan karena berani melakukan perbuatan itu.
27. Seperti seekor naga memuntahkan
api dengan lidahnya, dan menjilat ke kiri dan ke kanan, maka
dinyatakanlah dengan tegas daerah selatan yang paling biadap itu.
Setelah mendapat sangat banyak harta rampasan, yang dihadiahkan kepada
hambanya, maka kemasyuran itu diambilnya bagi dirinya, diantara orang
Brahmana dan Bertapa.
28. Karena didorongkan oleh nafsu
mencari nama, maka pergilah beliau sesudah itu menuju kearah Barat,
dalam tahun 957 Saka, tanggal 13 pada ketika bulan Badra, sedang naik,
pada hari baik-baik hari Rabu, membawa bala tentara yang tak terhitung
banyaknya lengkap dengan prajurit bertenaga kuat dan yang ingin
berperang. Dengan tepuk gemuruh dunia, maka beliau dapat memetik
kemenangan mengalahkan raja bernama Wijaya (Raja Wengker, Ponorogo –
Penyalin).
Dari kalimat-kalimat pada kutipan di atas
dapat kita perhatikan bahwa daerah yang ditaklukkan oleh Airlangga itu
terletak didaerah selatan dan dikuasai oleh seorang raja puteri yang
luar biasa (beraninya).
Kemungkinan daerah ini adalah daerah
Tulungagung seperti juga diperkirakan Drs. Pitono.[13] Apalagi bila kita
perhatikan bahwa sesudah menaklukkan raja Wijaya, yaitu penguasa
Wengker (Ponorogo sekarang), jadi mungkin sekali daerah Selatan itu
adalah daerah Tulungagung, karena relatif daerah ini tidak jauh dari
Wengker, dan untuk ke Wengker harus menuju ke arah barat. Mengenai raja
puteri di atas, dapat kita simpulkan bahwa dia benar-benar penguasa yang
gigih mempertahankan kemerdekaan daerahnya. Dan seperti kita simpulkan
pada S.2, sejak zaman Mdang di Jawa Tengah sudah terbentuk susunan
pemerintahan yang terdiri dari pemerintahan pusat dan pemerintahan
daerah / desa. Hal semacam ini hanya berlaku sampai berakhirnya
Hindhu-Budha di Jawa Timur Pemerintah daerah / desa memperoleh ekonomi
seluas-luasnya, sehingga masyarakatnya masih mampu mempertahankan adat
kebiasaan kuno.
Pada zaman Dharmawangsa (mertua
Airlangga) Wringin Sapta tentunya juga merupakan daerah/desa yang
memperoleh atonomi seluas-luasnya. Keadaan semacam ini bila penguasa
pusat lemah, dapat menyebabkan pemerintahan desa / daerah memerdekan
diri.
Kehancuran kerajaan Dharmawangsa (1017),
tentu merupakan kesempatan baik bagi Wringin Sapta untuk melepaskan
diri, sebab itu ketika Airlangga berusaha menaklukkan daerah itu
ditentang dengan sekuat tenaga. Kembali kita kepada soal perbaikan
tanggul di Wringin Sapta. Bukankah perbuatan Airlangga memerintahkan
memperbaiki tanggul itu berlatar belakang politik ? Mengingat daerah
tersebut 5 tahun yang lampau merupakan daerah yang gigih menentangnya,
sehingga bila laporan rakyat di Wringin Sapta tentang tanggul itu tidak
mendapat perhatian raja, tentu dikhawatirkan akan timbul sesuatu yang
tidak diinginkan.
Berdasar uraian-uraian di atas, maka
Wringin Sapta yang dimaksud dalam prasasti Kelagen itu adalah desa
Ringin Pitu di Tulungagung sekarang.
Adapun sebabnya peristiwa tanggul itu
dicatat oleh Airlangga dalam prasasti yang penempatannya jauh dari
tempat pembangunan itu sendiri, dapat kita jelaskan bahwa maksud utama
penulisan prasasti itu adalah penegasan desa perdikan Kamalagyan, yang
rakyatnya telah bergotong royong membuat waduk dan bendungan yang
kenyataannya sangat bermanfaat bagi Bandar utama dan desa kanan kirinya.
Sedangkan soal tanggul Wringin Sapta di Tulungagung adalah soal kedua,
yang sekaligus dapat diperingati pada prasasti itu karena soal ini ada
hubungannya dengan pembangunan pengairan dan jalan lalu lintas air
disungai Brantas. Prasasti itu diletakkan di dekat ibu kota pelabuhan,
dengan maksud ditunjukkan kepada penduduk kota (pusat pemerintah) bahwa
rajapun telah membuat hal-hal yang berguna bagi rakyat diluar kota.
Ada dua jenis keterangan lagi yang masih
akan kami kemukakan untuk memperkuat dugaan kita bahwa Ringin Pitu yang
dimaksud didalam prasasti Kelagen itu adalah Ringin Pitu di Tulungagung.
Yang pertama ialah tentang nama Kelagen.
Di desa Jasem (Kecamatan Karangrejo) terdapat pedukuhan yang bernama
Kelagen yang letaknya di tepi sungai Ngrowo.
Kedua : di desa Ringin Pitu Tulungagung
diketemukan batu merah yang besar-besar menyerupai batu merah zaman
Mojopahit atau sebelumnya (bukan batu merah model sekarang).
Pada masa Airlangga memerintah ternyata
tidak hanya perdagangan dan pelajaran saja yang maju, tetapi dengan
bukti-bukti seperti kita tunjukkan di atas pertanian juga memperoleh
perhatian sepenuhnya. Pada saat ini perkembangan persawahan di
daerah-daerah pedalaman tentu makin meningkat. Demikian pula
tempat-tempat pertemuan pedangang-pedagang dari luar dan dari dalam
negeri makin bertambah. Tempat-tempat semacam ini terutama terjadi
ditepi-tepi sungai yang wujudnya kemudian berupa Bandar-bandar /
pelabuhan-pelabuhan kecil. Dan hal ini tidak terbatas ditepi sungai
Brantas saja, tetapi juga disungai-sungai lainnya yang bermuara di
sungai Brantas.
Di daerah Tulungagung sungai Ngrowo
merupakan sungai yang penting sebagai jalan lalu lintas yang
menghubungkan daerah sebelah selatan dengan daerah sebelah utara (sungai
Brantas).
Seperti yang kita uraikan pada bab-bab
yang lalu, bahwa Tulungagung selatan merupakan daerah yang paling tua
(yang lebih dahulu ramai oleh kegiatan-kegiatan manusia).
Daerah itu adalah daerah Wajak. Rawa
didekat daerah ini pada saat itu tentu merupakan tempat penting pula,
yaitu tempat naik turunnya penduduk yang akan berpergian / berjual-beli
melalui sungai Ngrowo menuju sungai Brantas. Tidak mengherankan kalau di
dalam cerita-cerita rakyat (legenda) nama-nama tempat / desa seperti
Pacet, Gledug, Waung, Bono, Tawing, dan sebagainya banyak
disebut-sebut.[14] Tempat-tempat / desa dan sebagainya kesemuanya
terletak di kanan kiri aliran sungai Ngrowo. Dari cerita rakyat itu
hanya dapat kita simpulkan bahwa benar-benar sungai Ngrowo sejak zaman
kuno itu sudah merupakan sungai yang penting, sehingga tempat-tempat /
desa dikanan kiri sungai, tumbuhnya menurut perkembangan kepentingan
sungai itu pula. Mula-mula tempat-tempat itu hanya merupakan tempat
perhentian pedagang-pedagang setempat dan kemudian menetap, akhirnya
tempat itu menjadi desa-desa yang memiliki tanah-tanah persawahan dan
kebun-kebun. Pertumbuhan persawahan itu sesuai dengan kebutuhan pangan
atas dasar meningkatnya jumlah penduduk. Sedangkan bila hasil-hasil
pertanian sudah melebihi kebutuhannya maka kelebihan itu diperdagangkan
sebagai barang ekspor, sehingga kalau pada zaman Airlangga perdagangan
(khususnya mengenai hasil-hasil pertanian) sangat maju, tidak berlebihan
bila kita katakana bahwa daerah yang subur seperti yang terdapat
disepanjang sungai Ngrowo didaerah Tulungagung ini, punya peranan
penting dalam menjadikan barang-barang dagangan seperti di atas.
Peranan penting di daerah ini akan lebih jelas lagi pada masa Mojopahit.
Pada masa pemerintahan Airlangga, kita
belum melihat tanda-tanda adanya pedagang-pedagang/orang-orang asing
yang menyusup sampai ke daerah Tulungagung ini. Perdagangan di
daerah-daerah pedalaman rupa-rupanya masih dilaksanakan oleh penduduk
asli. Memang di atas dikatakan bahwa banyak pedagang-pedagang asing
berdagang di Jawa Timur pada masa pemerintahan Airlangga ini. Tetapi hal
itu hanya terbatas disekitar ibu kota atau di Bandar-bandar utama
seperti Hujung Galuh yang terletak dimuara sungai Brantas.
Tampak ada panyusupan orang-orang asing
(terutama orang-orang Cina) ke daerah pedalaman baru kemudian, yaitu
paling awal pada zaman Kediri, dan mulai banyak orang-orang asing
berdagang di daerah pedalaman pada masa Mojopahit.
Agama dan kebudayaan pada zaman Airlangga juga mengalami perkembangan.
Airlangga sendiri sebagai penguasa adalah
pemeluk agama Wisnu. Dan ajaran agama ini benar-benar menjiwai
kegiatan-kegiatan dibidang pemerintahan. Dewa Wisnu adalah dewa
pemelihara menurut faham Hindu, sehingga kalau usaha-usaha Airlangga
selama pemerintahannya untuk kebaikan-kebaikan negara dan rakyat seperti
permbuatan waduk-waduk, tanggul, memajukan pelajaran / perdagangan dan
sebagainya adalah perbuatan-perbuatan yang sejalan dengan ajaran
falsafah Wisnuisme (agama Wisnu). Dan setelah dia meninggal patung
perwujudanya dibuat sesuai dengan Dewa pujangganya, yaitu dewa Wisnu
naik Garuda. Sebelum dia meninggal, lebih dahulu dia menjadi seorang
pertapa, di gunung Penanggungan. Dan ketika akan ditinggalkannya bertapa
urusan kerajaan puteri ini menolak kedudukan sebagai raja itu. Dan dia
memilih jalan hidupnya sebagai seorang pertapa Pertapaan Puteri inipun
digunung Penanggung. Sebagai pertapa dia lebih dikenal dengan sebutan
Dewi Kili Suci.
Urusan kerajaan, dengan penolakan Dewi
Kili Suci itu akhirnya diserahkan oleh Airlangga kepada-kepada orang
puteranya yang lebih muda. Dan untuk menjaga jangan sampai putera-putera
ini berebutan kekuasaan, maka Airlangga yang sudah bersusah payah
mempersatukan daerah kekuasaanya itu, kini terpaska memecah kerajaan
menjadi 2 bagian yaitu Panjalu dan Jenggala.
Pemecahan ini batas-batasnya disuruh
menentukan seorang pendeta Budha-Mahayana yaitu Mpu Barada. Hal ihwal
pemecahan ini disebut-sebut di dalam hasil kesusastraan kuno, yaitu di
dalam “Calon Arang”.[15]
Di dalam prasasti Djoko Dolok (1289) yang
didapatkan disimpang Surabaya, Kartanegara (raja Singosari terakhir)
memerintahkan mendirikan patung Budha Aksobya (Djoko Dolok) dipekuburan
Wurare tempat Mpu Barada dahulu bersemayam. Maksud pendirian patung ini
ialah untuk menghilangkan tuah-sakti Mpu Barada yang telah menyebabkan
perpecahan negara Kahuripan, karena pada waktu itu Kertanegara
bercita-cita membentuk persatuan di bawah naungan Singosari.
Di dalam buku kuno Negarakertagama, lebih
banyak diuraikan hal perpecahan negara yang dilaksanakan oleh Mpu
Barada itu. Di bawah ini kami kutipkan terjemahan bebas hal tersebut
yang tercatat pada sarga (bagian) ke 58 dan 59 dari buku itu.[16]
1. Ketahuilah riwayat pohon Kamal,
seperti tersebut dalam cerita lama. Seri Baginda Pandjalunata adalah di
Daha, pada ketika itu tanah Jawa terbagi dua. Maka sebabnya Sri Baginda
Airlangga berbuat demikian ialah karena berasa sayang kepada (kedua)
putranya, yang telah diangkat menjadi prabu.
2. Maka pada ketika itu adalah
seorang-orang beragama Budha ma aliran Mahayana yang sangat putus
pelajarannya jelas pengetahuan tentera mengalami segala orang pertapa;
tempat diamnya ditengah-tengah kuburan Lemah Cerita, dan didatangilah
segala manusia yang membutuhkan bantuan, ia pernah pergi ke pulau Bali
menyebrangi selat dengan tak takut-takut berjalan di atas air laut;
namanya orang bertuah itu ialah, Mpu Barada yang mempunyai pengetahuan
dapat melihat kala yang tiga, waktu yang lampau dan sebagainya.
3. Kepada orang keramat Rahiang
itulah dimajukan permohonan supaya memperdua bumi, dan permohonan itu
tak ditolaknya. Adapun batas antara kedua daerah itu ditentukannya
dengan mencucurkan air mata kendi dari atas langit. Dan jalannya adalah
seperti berikut : dari barat menuju kearah menuju selatan, tidaklah
jauh, sehingga sampai di pindahkan seolah-olah lautan samudra.
Demikianlah bumi Jawa mendapat dua orang prabu.
4. Menurut kata orang, maka orang
bertapa yang utama itu terhenti pada sebatang pohon kamal, dan lalu
turun dari langit, yaitu di desa Palungan tempat dia meletakkan kendi
yang terkenal di dunia ini. Dia terhambat oleh tingginya sebatang pohon
kamal, sehingga pakaiannya tersangkut dipuncak kayu tersebut. Itulah
sebabnya, maka pohon itu lalu kena sumpah, supaya menjadi kecil rendah,
dikutuk oleh orang yang terbang diruang antara (langit dan bumi).
5. Mula-mulanya pohon itu dijadikan
tanda kecilakaan, dan sejak itu banyaklah orang merasa takut kecemaran,
sehingga meninggalnya tempat diamnya. Itulah yang menjadi alasan
mengapa di sana didirikan rumah-rumah persembahan, supaya tanah Jawa
menjadi waras dan bersatu lagi, supaya raja dan tanah menjadilah tetap
dan rakyat jangan kebigungan; supaya menjadilah tanda, bahwa Sang Prabu
Jaya diseluruh dunia sebagai pemerintahan bumi, Prabu Tjakrawartin.
6. Rumah persembahan itu dinamai
orang Pradjnjapara mitapuri, Djnjanawidilah yang melaksanakan upacara
Pradjnjaparamita ketika rumah itu dibangunkan. Sunggulah demikian,
karena beliau ialah seorang pendeta tua yang mengenali tentaranya.
Seorang penganjur yang telah berpakaian mashab dan mengetahui segala
kitab agama. Jelaslah, mengapa Mpu Barada yang menjelma dalam batang
tubuhnya dapat menggirangkan hati Sang Prabu.
7. Adapun tempat Sri Baginda Puteri
Rajapati dikuburkan ialah di Boyolangu, Karena yang mulia Djnjanawidi
mendapat perintah sekali lagi melaksanakan ibadat, pembaktian tanah dan
pembangunan, rumah persembahan itu dinamai orang juga Wisjejapura,
karena pembangunannya dilakukan dengan perhatian juga istimewa. Kepada
Menteri Agung sendiri diturunkan perintah supaya mengawasinya, sedang
demung Bodjo yang muda menyudahi pekerjaan dengan segala keahlian.
8. Umumlah diseluruh daerah bahwa
tempat rumah persembahan dibangunkan itu dipuja-puja selama Wisjaspuri
menjadi tempat kubu berbakti kepada Sri Paduka maharajapatni. Pada
tiap-tiap bulan Badrabada beliau dipuja oleh para menteri dan Brahmana,
semuanya dengan rasa kebaktian. Selamatlah beliau di sorga dengan
pengetahuan bahwa cucunya kuat-kuat memerintah sebagai seorang Nata
Tunggal di tanah Jawa.
Dari kutipan di atas ini pokoknya
menceritakan tentang pembagian kerajaan pada zaman Airlangga oleh Mpu
Barada. Batas-batas di tentukan dari barat ke timur sampai di selat
Madura. Dari utara ke selatan batas pemisah utara-selatan ini adalah di
desa Palungan dimana Mpu Barada tersangkut pada pohon asam (kamal).
Karena sabda Mpu Barada asam tadi menjadi kerdil dan desa tersebut,
menjadi “angker”, (menakutkan penduduk di situ). Karena itu untuk
menghilangkan “ke-angkeran” dan memulihkan kembali persatuan kerajaan
(tanah Jawa), raja (Prabu Hayam Wuruk) menyuruh pendeta tua yang sakti
seperti Mpu Barada pula, bernama Djnjanawidi untuk membangun rumah
persembahan yang disebut Pradjnjanawidi untuk membangun rumah
persembahan yang disebut Prandjnjaarami tapura, atau Wisjesjapura di
Boyolangu tempat Radjapatni (nenek-Hayam Wuruk) dimakamkan. Tempat ini
untuk selanjutnya sebagai tempat memuja raja puteri itu.
Dengan memperhatikan tiga sumber di atas
(cerita Calon-Arang, prasasti Djoko Dolok dana negara-kertagama Sarga 58
dan 59) memang benar Airlangga telah memecah negara menjadi 2,
masing-masing untuk putranya sebagai raja di Jenggala dan Panjalu.
Pemecahan negara yang dilaksanakan oleh
Mpu Barada dengan kesaktiannya yang luar biasa itu, rupanya merupakan
kenyataan sejarah yang tidak diinginkan terulangnya oleh Kertanegara dan
Hayam Wuruk yang keduanya bercita-cita membentuk kerajaan, besar yang
bersatu. Oleh sebab itu kedua-duanya berbuat sesuatu yang dapat
menghilangkan tuah-sakti Mpu Barada yang mungkin masih mempunyai
daya-memisah kerajaan yang dipimpin oleh kedua. Orang raja tersebut
Kertanegera mendirikan patung Budha Aksobya (Djoko-Dolok) dibekas
kediaman Mpu Barada, yaitu di Wurare atau Lemah Cerita. Yang terletak di
daerah Simpang Surabaya. Prabu Hayam Wuruk memerintahkan mendirikan
rumah persembahan tempat memuliakan arwah neneknya, yaitu
Pradjnjaparamita (Dewi Pengetahuan) dan petungnya didirikan dicandi
makamnya yaitu di Boyolangu. Kedua Dewa itu (Dewa Budha Aksobya dan
Prandjnjaparamita), dianggap oleh mereka akan dapat menghilangkan tuah
sakti Mpu Barada dan penempatan patung-patung itu dapat kita samakan
dengan penanaman “tumbal” seperti adat kebiasaan Jawa. Mengenai batas
daerah yang dibuat oleh Mpu Barada itu, pada umumnya sarjana-sarjana
sepakat mengakui sungai Brantas sebagai batasnya. Tetapi dimana ujung
selatan dari batas tempat Mpu barada berhenti itu ? Sampai sekarang
masih bermacam-macam pendapat mengenai letak Palungan atau Kamal Pandak
tempat Mpu Barada terhenti itu, karena tanda-tanda adanya hubungan nama
itu dengan nama desa sekarang sudah sukar diketahui. Tetapi dengan
memperhatikan isi sarga ke 58 dan ke 59 dari negara cenderung menyatakan
tempat itu didaerah Tulungagung, yaitu sekitar Boyolangu.
Di dalam kutipan di atas, pada nomor lima
dinyatakan bahwa di tempat tumbuhnya pahon kamal (asam) yang dikutuk
oleh Mpu Barada telah didirikan rumah persembahan untuk Dewi
Prdjnjaparamita (Pradjnjaparamitapuri). Yang dimaksud Pradjnjaparami
tapuri itu tidak lain adalah candi makam Gayatri yang disebutkan di
“Boyolangu” itu.
Karena candi ini sudah rusak sekali kita
tidak dapat menggambarkan bagaimana bentuk bangunan itu semula. Patung
yang merupakan patung Pradjnjaparamita masih diketemukan walaupun sudah
tidak berkepala, dan bagian-bagian lainnya banyak yang hilang. Sekarang
patung tersebut ditempatkan pada kedudukannya semula.
Keterangan seperti yang terdapat didalam
kutipan di atas, yang menyatakan bahwa tempat itu merupakan tempat yang
perlu dipelihara dan dihormati sebagai tempat kebaktian untuk Sri Paduka
Maharadjapatni, ditambah lagi bahwa para menteri dan para Brahmana pada
tiap bulan Badrapada datang ke tempat itu untuk memuliakannya, akan
memudahkan kita untuk memahami mengapa di daerah sebelah timur Boyolangu
terdapat desa Sanggrahan.
Mereka yang datang berziarah ke tempat
itu, terutama yang berasal dari Ibu kota Mojopahit tentu membutuhkan
tempat “masanggrah” (beristirahat) dan tempat inilah yang kemudian
menjadi desa Sanggrahan. Perlu kita ketahui bahwa jalan darat ke
Boyolangu yang dapat ditempuh oleh peziarah-peziarah pada masa itu
bukanlah jalan darat seperti yang biasa kita lalui sekarang dari
alun-alun Tulungagung ke selatan, melainkan dari arah utara (Ngantru)
terus ke selatan melalui desa Jepun sampai desa Sanggrahan. Untuk desa
Boyolangu masih harus ke barat sedikit. Bila dari Boyolangu diteruskan
ke barat, terus melalui desa Ngranti sampailah ke daerah rawa, yaitu
Rawa Gesikan. Mungkinkah “Ngranti” itu dari perkataan yang mempunyai
arti “menanti”, hubungannya dengan menanti perahu “perahu sebelum
berlayar melalui rawa menuju ke utara ? (sisipan “ar” menunjukkan
pengertian “banyak / berulang-ulang” dalam bahasa Sunda).
Jalan menuju ke selatan mulai dari
Ngantru, dapat ditempuh melalui jalan lain yaitu dari Ngantru membelok
ke timur, kemudian menyeberangi sungai Brantas melalui tambangan (tempat
penyeberangan) di desa Majangan. Kemudian turun ke desa Wringin Pitu
terus melalui desa Plosokandang, Wonorejo, Junjung sampai Sanggrahan.
Nama “Boyolangu” sendiri mungkin
merupakan nama yang paling tidak mulai popular sejak dibangunnya candi
di tempat ini. Sebab sudah kita ketahui bahwa pendirian candi itu
maksudnya adalah sebagai “tumbal” atau penolak bahaya (dianggap demikian
karena Gayatri adalah lama bertapa).
Kata “Bhayalango” (sekarang Boyolangu)
kemungkinan besar adalah perubahan dari kata (Bhayalanga) yang artinya
“supaya mengalangi bahaya” (bhaya = bahaya; alang = menghalangi; akhiran
“a” punya arti supaya;agar).
Perlu kita ingat bahwa perkataan
Bhayalango terdapat pada buku Negarakertagama yang berbentuk syair.
Sehingga penulis terikat oleh ketentuan-ketentuan yang harus dipenuhi di
dalam mengubah syair tersebut antara lain tentang tekanan kata, panjang
pendeknya suara, guru lagu dan sebagainya. Maka perkataan “Bhayalanga”
disesuaikan dengan kebutuhan dan kemudian menjadi “Bhayalango”.
Didalam Negarakertagama memang tidak ada
menyinggung soal nama tersebut. Pembangunan candi ini dilaksanakan pada
tahun 1362, dua belas tahun sesudah meninggalnya Maharajapatni (Gayatri)
tepat pada hari Upacara Srada bagi raja puteri tersebut.
Upacara Srada itu adalah upacara untuk
penyempurnaan arwah Maharajapatni, dengan maksud menghilangkan segala
sisa-sisa ikatan keduniaan, sehingga arwah yang meninggal itu dapat suci
benar-benar untuk masuk nirwana. Upacara semacam ini masih terdapat di
Bali yang dikenal sebutan “Tiwah”.[17]
Upacara ini disertai dengan berbagai
macam pengorbanan – berpuncak pada panggilan arwah yang meninggal supaya
masuk ke dalam “puspasarira”, yaitu boneka yang terbuat dari
bunga-bungaan, untuk dipuja.
Sesudah raja (Hayam Wuruk) beserta
segenap keluarganya dan para pejabat kerajaan memberi saji-sajian dan
memberi hadiah-hadiah kepada rakyat, akhirnya puspasarira itu dibakar
bersama-sama sisa-sisa tulang yang meninggal. Sebagai penutup upacara
ini ialah penempatan abu jenazah itu kedalam candi. Abu jenazah semacam
ini biasanya ditempatkan pada peti baju yang didalamnya disertai
benda-benda berharga seperti kepingan perak atau emas, permata dan
sebagainya. Sebab itu banyak candi-candi yang rusak, kemungkinan sejak
zaman Islam dan terutama zaman Belanda banyak tulang-tulang beda-beda
berharga yang menjadikan candi sebagai sasarannya.
Seperti pada zaman sebelumnya, suatu desa
yang berketempatan bangunan-bangunan suci seperti candi, pertapan dan
sebagainya diwajibkan memelihara bangunan-bangunan tersebut. Desa /
daerah-daerah semacam ini biasanya disyahkan oleh raja sebagai daerah
“perdikan” yang dinamai “sima”. Desa / daerah perdikan itu dikepalai
oleh seorang penghulu agama yang langsung dibawah kekuasaan raja,
artinya tidak boleh pejabat-pejabat di bawah raja campur tangan urusan
desa itu kalau tidak ada perintah raja. Dengan cara ini kemungkinan
untuk mempermudah raja memeriksa dan mengetahui secara langsung
daerah-daerah / desa yang diberi tugas suci itu. Demikian pula mengenai
pemungutan pajak, penerima pusat langsung memungut ke daerah / desa itu
tanpa melalui pejabat-pejabat lain seperti daerah / desa yang bukan desa
perdikan.
Kerajaan Mojopahit sepeninggal Gajah Mada
(1364) dan Prabu Hayam Wuruk (1309) mulai mundur. Hal ini disebabkan
karena hilangnya Gajah Mada dan tidak ada orang yang dapat menandingi
kemampuannya di bidang politik. Apalagi sesudah Hayam Wuruk meninggal,
pengganti-penggantinya lemah pemerintahannya dan terjadi perebutan tahta
sehingga menimbulkan perang-perang saudara antara lain Perang Paragreg,
akibatnya membawa kemunduran Mojopahit. Di dalam babad mundurnya
kewibawaan Mojopahit itu diperingati dengan sangkalan “Sirna hilang
kertaning bumi” (1400 C = 1478 M) kemunduran Indonesia sehingga ± tahun
1500 Mojopahit hilang dari gelanggang sejarah. Sedang bupati-bupati
pantai yang memeluk agama Islam kemudian mendirikan kerajaan-kerajaan
baru yang sudah mendasar faham baru yaitu Islam. Di Jawa
kerajaan-kerajaan Islam itu adalah : Demak, Pajang, Banten dan Mataram.
S.4 Pemerintahan, Agama dan Kebudayaan
Pada bab yang lampau sudah kita ketahui
bahwa dinasti Sanjaya di Jawa Tengah memberi dasar pemerintahan yang
kuat untuk masa-masa berikutnya.
Pada zaman Hindu-Budha di Jawa Timur hal
ini berkembang terus. Dari zaman Mpu Sindok, Dharmawangsa, Airlangga,
Kediri dan Singosari system dan susunan pemerintahan berkembang
setingkat demi setingkat sehingga zaman Mojopahit benar-benar memperoleh
bentuknya yang khas. Secara singkat dapat kita katakan bahwa raja
adalah pusat segala-galanya. Di dalam tugasnya sehari-hari dia
didampingi oleh keluarganya yang tergabung di dalam sautu Dewan yang
disebut “Sapta Prabhu”.
Perintah dan keputusan-keputusan raja
disampaikan kepada rakyat melalui Dewan Menteri yang dikenal dengan
sebutan “Menteri – Katrini”, terdiri dari 3 jabatan Menteri yaitu :
1. Rakryan menteri i Hino
2. Rakryan menteri i Sirikan
3. Rakryan menteri i Halu
Menteri Katrini inilah yang kemudian
meneruskan perintah dan keputusan raja melalui Dewan Menteri yang lain,
yaitu “Panca ring Wilwatikta” (Panca Tunggal Mojopahit), yang terdiri
dari 5 jabatan menteri yaitu :
1. Rakryan Apatih
2. Rakryan Demung
3. Rakryan Kanuruhan
4. Rakryan Rangga
5. Rakryan Tumenggung
Panca ring Wilwatikta itulah melaksanakan perintah-perintah / keputusan-keputusan raja sampai kerakyat jelata.
Di samping Dewan-dewan Menteri di atas
ada dewan lain yang mengurusi soal pengadilan dan agama. Dewan ini
disebut “Sapta-Upapati”.
Dewan ini terbagi menjadi 2 golongan
yaitu yang mengurusi pengadilan agama Siwa (kasaiwan) terdiri dari 5
orang upapati, dan dipimpin oleh seorang Dharmadhwaksa ring Kasaiwan.
5 upapati itu masing-masing bergelar “pameget” yaitu :
1. Pameget i Tirwan
2. Pameget i Kandamuhi
3. Pameget i Manghuri
4. Pameget i Pamwatan
5. Pameget i Djambi.
Yang mengurusi pengadilan dan agama Budha
(Kasogatan) terdiri dari 2 orang uppatti yang juga dipimpin oleh
seorang Dharmadhyaksa (Dharmadhyaksa ring Kasegatan).
2 Upapatti ini juga bergelar pameget, yaitu :
1. Pameget i Kandangan Atuha
2. Pameget i Kandangan Rarai
masing-masing keluarga raja disamping
sebagai pembantu tugas sehari-hari raja, juga diserahi mengepalai daerah
sebagai bagian dari kerajaan. Mereka itu semuanya bergelar Bhre,
seperti : Bhre Daha, Bhre Singosari, Bhre Mataram, Bhre Lasem, dan
sebagainya, dan mereka berkedudukan di ibukota.
Ayah raja, yaitu Bhre Singosari,
disamping tugasnya itu dibebani tugas lain sebagai Adhyaksa yang
menentukan luas dan daerah-daerah yang harus ditanami dan mencatat
jumlah penduduk. Paman raja, Bhre Wengker, bertugas mencatat jumlah
desa, mengontrol keadaan sawah dan ladang mengurus pemeliharaan
jalan-jalan, bendungan, bangunan-bangunan suci, pohon beringin, dan
rumah-rumah penduduk.
Lalu lintas sungai mendapat perhatian
secukupnya, dan tempat-tempat penyeberangan sungai (tambangan) diurusi
dengan rapi, dan tukang-tukang tambang dikenal dengan sebutan “Wwang
anambangi” dan mereka terorganisir rapi dan wakil-wakilnya berada di
ibukota.
Di daerah Tulungagung tempat
penyeberangan sungai seperti itu yang sampai sekarang masih ada ialah di
desa Majangan dan mungkin adanya lebih dahulu, yaitu sejak zaman
Airlangga.
Melihat nama yang sampai sekarang masih
hidup itu, disamping sebagai tempat penyebarangan sungai, kemungkinan
besar tempat ini dahulu merupakan tempat pembuatan perahu-perahu besar
yang disebut Majang yang banyak digunakan untuk lalu lintas air pada
masa itu.
Pelaksanaan pemerintahan Mojopahit baik
dilur maupun di dalam pulau Jawa lebih banyak memberi kebebasan
daerah-daerah, sehingga daerah-daerah / desa-desa tetap merupakan daerah
/ desa otonom yang dikepalai oleh pejabat-pejabat daerah / desa yang
bergelar “rama”.
Untuk menjaga keamanan Negara Mojopahit
juga memiliki angkatan perang cukup banyak. Angkatan ini terbagi menjadi
2 jenis yaitu Angkatan Laut dan Angkatan Darat.
Angkatan perang ini pengawasannya
langsung di bawah maha patih Mangkubhumi, sedang kegiatan Angkatan Laut
diserahkan Senapati Laut (Jalasenapati).
Angkatan Darat terbagai menjadi 2
golongan, yaitu: Prajurit mengawal Tatana (Bhayangkara) dan Prajurit
Keamanan Negara, (Dharmaputera).[18]
Mengenai agama pada zaman Mojopahit tidak
ada pertentangan. Agama Hindu dan Budha hidup berdampingan. Hal ini
dapat terjadi karena agama Budha yang berkembang di Jawa Timur sudah
mengalami proses pertumbuhan yang pesat sekali terutama terjadi pada
masa Singosari (pada masa pemerintahan Ronggowuni dan Kartanegara).
Unsur-unsur agama Hindu lebih banyak mempengaruhinya sehingga nama Mojopahit agama-agama itu dapat saling mendekati.
Agama yang diakui negara pada masa itu
ialah agama Hindu-Siwa dan agama Budha. Masing-masing seperti yang kita
jelaskan diatas diurusi oleh upapatti. Upapatti yang mengurus agama Siwa
lebih banyak jumlahnya, ini tidak berarti bahwa agama itu juga lebih
diutamakan, melainkan karena agama itu lebih banyak sekte-sektenya.
Diantara hasil kesusastraan zaman
Mojopahit yang menguraikan tentang hakekat agama Siwa dan agama Budha
ialah buku Sutasoma karangan Mpu Tantular. Salah satu kalimat dari buku
inilah yang kemudian dipetik dan diterakan pada lambang negara kita
sekarang.
Kami kutip satu bait syair dari buku
tersebut yang berisi pokok-pokok falsafat yang menunjukkan hakekat
agama-agama tersebut.[19]
Hyang Budha etan pahi Qiwa raja dewa,
Rwanekadhatu winurus, warabudha wiqwa,
Bhineki rakwa ring apan kena parwwanosen,
Mangka Jinatwa lawan Qiwatatwa tunggal,
Bhineka tunggal ika tan han dharma mangrwa.
Artinya kira-kira demikian:
Hyang Budha tiada bedanya dengan Qiwa, raja sekalian dewa-dewa,
Kedua-duanya dikatakan terdiri atas berbagai-bagai zat,
Sang Budha adalah maha ada.
Bilakah orang dapat membedakan (membagi dua) kedua itu, meskipun kelihatan berbeda (terbelah).
Bukankah hakekat Sang Jina dan Sang Qiwa itu satu jua.
Berbeda mereka (terbelah itu = bhinna ika).
(tetapi) mereka satu jua (satu itu = tunggal ika),
tak ada dharma yang mendua
Peninggalan-peninggalan bangunan kuno
yang terdapat di daerah Tulungagung terutama berasal dari Mojopahit dan
sebagian besar berupa candi. Adapun letaknya disekitar daerah Wajak /
Boyolangu. Hal ini sudah kita uraikan di atas, sebabnya ialah pentingnya
daerah tersebut di masa-masa lampau. Diantara candi-candi itu yang
sudah kita sebut-sebut ialah; candi Gayatri yang merupakan candi Siwa.
Patung utama adalah perwujudan Gayatri sebagai Dewi Pradjnjaparamita.
Kecuali itu di daerah ini pula dicandikan jenazahnya Wikrama-wardhana
tahun 1429, yaitu menantu Prabu Hayam Wuruk. Dimana letak candi ini
sebenarnya kurang dapat kita pastikan. Kemungkinan yang terletak di suka
yang kabarnya telah dibongkar oleh rakyat ± tahun 1965. dibagian
selatan terdapat bangunan-bangunan lain yang terkenal sebagai candi Dadi
dan Candi Tjungkup. Candi di Dadi terletak di atas sebuah bukit.
Masih ada berupa candi-candi di daerah
Tulungagung, tetapi dari zaman pemerintahan siapa candi-candi itu
didirikan, kurang jelas. Dibagian utara, yaitu di daerah Penampehan
terdapat candi Asmorobangun (menurut sebutan rakyat) yang mungkin
berasal dari zaman kediri. Macam-macam kebudayaan yang masih dapat kita
lihat di daerah Tulungagung, yang sebenarnya berakar dari zaman kuno
antara lain yaitu wayang, reog, jaranan (kuda lumping), tiban dan
lain-lain.
Wayang, sebenarnya merupakan kebudayaan
Indonesia yang sudah tua umurnya. Semula wayang itu merupakan alat
pemujaan roh nenek moyang dengan menggunakan
boneka-boneka/patung-patung. Wayang yang sudah diserasikan dengan
kebudayaan Hindu mulai muncul sebagai pertunjukkan pada zaman Airlangga.
Pada zaman ini pertunjukkan itu juga masih bersifat keagamaan. Peranan
penting di dalam pertunjukkan wayang ini adalah “dalang”, yang semula
dalang itu adalah pendeta (purohita) yang bertugas sebagai pemimpin
upacara keagamaan dan juga sebagai juru penerang, baik soal-soal agama,
politik atapun soal-soal sosial pendidikan. Wayang kulit di kenal juga
dengan nama wayang Purwo. Nama ini muncul dari kata parwa (bagian-bagian
cerita dari Mahabarata) sebab memang pada zaman Airlangga cerita-cerita
yang dipentaskan dan dipertunjukkan dengan wayang ini adalah
cerita-cerita Hindu antara lain dari Mahabarata.
Reog dapat kita katakan merupakan bentuk
tarian yang sangat sederhana, sebab si penari (yang menari bersama-sama)
masing-masing membawa instrumen berdiri yang berupa gendang. Reog yang
terdapat di Jawa Timur khusus hanya menari saja. Reog yang terdapat di
Jawa Barat agak berbeda dengan di Jawa Timur. Reog Jawa Barat tidak
terus menerus menari saja, tetapi ada saat-saat berdialog antara
penari-penari itu sendiri. Tentang dasar tarian reog dan instrumennya
rupa-rupanya sama saja antara yang terdapat di Jawa Timur dan di Jawa
Barat.
Tarian ini merupakan tarian yang
bersumber pada tari-tarian kuno, hal ini dapat kita buktikan dari adanya
relief yang terdapat di candi Prambanan, yang menggambarkan orang
menari berjajar-jajar dengan menggunakan instrument gendang pula.
Jaran (kuda lumping) merupakan tarian
yang digemari oleh rakyat. Rupa-rupanya tarian ini merupakan fragmen
dari cerita Pandji yang menggambarkan Raden Pandji berkelana dengan
pengikut-pengikutnya naik kuda dihutan-hutan.
Jenis tarian kuda lumping ini di
Tulungagung ada beberapa, antaranya: jaranan Jawa, Jaranan Pegon,
jaranan ponorogo, jaranan Sentarewa dan sebagainya. Perbedaan satu sama
lain tidak banyak, hanya terletak pada pakaian, gamelan atau alat-alat
yang lain. Tentang dasar tariannya sama saja.
Tiban, merupakan suatu permainan dua
orang saling cambuk mencambuk. Cambuk yang dipergunakan tersebut dari
lidi aren juga diancam (dipintal). Inti permainan ini adalah latihan
keberanian, tetapi umumnya permainan ini dimainkan bersamaan dengan
upcara “meminta hujan”. Kita memang tidak dapat menunjukkan dari zaman
apa tarian / permainan ini asal mulanya. Tetapi melihat pelaksanaan
permainan ini biasanya pada musim kering, dimana petani-petani sangat
mengharapkan adanya hujan, maka nama permainan itulah yang mempunyai
arti magis. Tiban berasal dari kata “tiba”, yang artinya jatuh. Dalam
hal ini dengan diadakannya permainan itu diharapkan agar “jatuh hujan”
pada saat-saat kering itu. Kepercayaan semacam ini tentu tidak terlepas
dari unsur dinamisme /animisme yang memang pernah hidup di tanah air
kita. Pelaksanaan permainan tiban didahului dengan sembahyang Istiqa.
S.5 Tentang orang-orang Asing
Seperti kita singgung-singgung pada S
yang lalu, pada zaman Airlangga belum kita lihat adanya orang-orang
Asing (terutama orang-orang Cina) yang berdagang ke daerah-daerah
pedalaman.
Penyusupan orang-orang Cina mulai tampak
pada zaman Kediri. Dari berita Cina disebutkan bahwa kerajaan Kediri
mempunyai sebuah gedung tersendiri yang diperuntukkan menginap
saudagar-saudagar / tamu-tamu Asing. Dari keterangan ini kitapun belum
dapat menyimpulkan bahwa orang-orang Asing sudah menyusup berdagang di
pedalaman sampai menetap di daerah itu.
Juga pada zaman Singosari kita melihat
orang Cina yang sampai di daerah itu, tetapi hanya merupakan utusan yang
sengaja akan meminta tanda takluk raja Jawa untuk Kaisar Cina. Hal
inilah yang ditentang oleh Kertanegara sehingga utusan Kaisar Cina yang
datang ke istana singosari dilukai mukanya dan kemudian disuruhnya
kembali ke negerinya. (Sebagai tantangan).
Tantangan ini kemudian dilayani oleh
Kaisar Kubilai Khan, tetapi sayang setibanya di pulau Jawa, tentara Cina
yang balas dendam itu tidak menjumpai lagi Kertanegara, karena sudah
meninggal. Kemudian mereka dapat diperdaya oleh Wijaya pembentuk negara
Mojosari untuk melumpuhkan kekuasaan Kediri. Setelah berhasil, tentara
Cina itu sendiri di pukul oleh Wijaya sampai menderita korban banyak
sekali. Tinggal sebagian kecil saja yang dapat pulang ke negerinya.
Dari kenyataan sejarah di atas kita
berkesimpulan bahwa sampai awal berdirinya Kerajaan Mojopahit tentu
belum ada pedagang-pedagang Cina yang di daerah pedalaman.
Yang jelas orang-orang Cina boleh menetap
di daerah-daerah pedalaman sejak zaman penjajahan Belanda. Mereka
adalah orang-orang yang dapat membantu pemerintah Belanda dalam hal
penarikan pajak dan sebagainya.
Next
Oleh: Drs Suprayitno | September 24, 2009
BAB II BUKU BABAD TULUNGAGUNG
BAB II
MENINJAU MENGENAI DAERAH TULUNGAGUNG
PADA ZAMAN PRA-SEJARAH
Menurut pengertian umum yang dimaksud
dengan zaman Pra-sejarah adalah zaman dimana belum ada hasil-hasil
kebudayaan yang berisikan tulisan yang dapat digunakan untuk menyusun
pengetahuan sejarah mengenai zaman itu.
Kedalam perwatasan waktu Pra-sejarah ini
termasuk juga sejarah terbentuknya bumi, mulai timbulnya
tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia.[1]
Dalam tulisan ini sekedar akan kami
petikkan kesimpulan-kesimpulan sejarah terbentuknya bumi untuk
mengetahui betapa tuanya sebagian dari daerah Tulungagung ini.
Sepanjang sejarahnya, bumi sesudah tercipta sebagai bagian-bagian dari alam semesta ini, dibedakan menjadi empat zaman, yaitu :
I. Zaman Tertua (Archaecum)
II. Zaman Hidup Tertua (Palaeozoicum) – disebut juga zaman pertama (Primair).
III. Zaman Hidup Pertengahan (Mesozoicum) – disebut pula zaman kedua (Sekundair).
IV. Zaman Hidup Baru
(Neozaicum) – zaman ini dibagi lagi menjadi 2 yaitu, zaman ketiga
(Tertiair) dan zaman ke empat (Quartair).
Pada zaman ketiga (Tertiair) bentuk
kepulauan Indonesia hanya merupakan deretan pulau-pulau kecil yang
sekarang merupakan punggung-punggung pegunungan yang membujur dari
Sumatra, Jawa, Nusa Tenggara, Maluku dan membelok ke Sulawesi. Dibagian
tengah : dari Semenanjung Malaka, kepulau Riau, Bangka – Balitung,
melalui Laut Jawa membelok menuju ke Kalimantan Selatan. Dan sebagaian
juga paling utara berupa punggung-punggung pegunungan Kwen Lun di
Kalimantan. Selama akhir zaman ketiga dan terus berlangsung pada
sebagian zaman keempat, terjadi perubahan yang hebat sekali. Di
Indonesia merupakan zaman pembentukan pegunungan-pegunungan dan terjadi
pula gerakan-gerakan dari dalam bumi yang menyebabkan terangkatnya
beberapa tempat atau tenggelamnya beberapa bagian daratan kepulauan
kita.
Perubahan – perubahan tersebut diperkirakan mulai sejak ½ juta tahun yang lampau.
Dari uraian diatas dapatlah kami
kemukakan bahwa terbentuknya daratan – daratan pegunungan Gamping
dibagian selatan Pulau Jawa yang membujur dari Jawa Tengah sampai di
Jawa Timur terjadi pada masa ± ½ juta tahun yang lampau. Dan ini berarti
bahwa bagian selatan daerah Tulungagung yang menjadi sebagian sumber
perekonomian di daerah ini merupakan bagian tanah yang cukup tua
umurnya. Daerah tersebut dengan hasilnya batu kapur dan batu marmer
ternyata mempunyai peranan penting dalam perkembangan Sejarah
Tulungagung khususnya.
Pada jaman Ke – empat (Quartair)
terjadilah empat kali jaman Es, dimana pada saat – saat demikian
sebagian air di lautan yang dangkal menjadi kering. Termasuk pula laut
Jawa pada saat itu menjadi daratan yang luas sehingga Pulau Jawa,
Sumatra, Semenanjung Malaka menjadi satu daratan Asia. Selama jaman es
ini daerah Katulistiwa tidak mengalami adanya es, tetapi yang dialami
adalah musim hujan yang lama ada tanda – tanda hidupnya mahkluk yang
mempunyai sifat – sifat kemanusiaan, tetapi bentuk tubuhnya masih
menyerupai kera – kera besar. Makhluk – makhluk semacam ini umum disebut
manusia kera (pithecanthropus). Dan para Sarjana berpendapat bahwa
tanah tumpah darahnya di daratan Asia.
Pada saat – saat terjadinya jaman es,
daerah itu dingin sekali hawanya sehingga binatang – binatang dan
manusia kera berpindah menuju kearah selatan , ke daerah katulistiwa.
Diantara manusia – manusia kera itu ada yang sampai di Indonesia. Dan
terbukti sisa – sisa kerangkanya.yang telah membatu banyak diketemukan
di Pulau Jawa, terutama di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan
menurut penyelidikan jenis manusia – kera yang tertua di dunia sisanya
juga diketemukan di daerah ini.
Di daerah Tulungagung yaitu di daerah
Wajak pada tahun 1889 diketemukan pula sisa-sisa manusia purba termasuk
jenis manusia paling muda yang oleh para ahli digolongkan kedalam jenis
manusia cerdas (Homo Sapiens). Tengkorak “Manusia Wajak” (Homo
Wajakensis) ini ternyata ada persamaan-persamaannya dengan tengkorak
suku bangsa asli di Australia. Karena itu diperkirakan Homo wajakensis
ini merupakan nenek moyang suku bangsa asli di Australia.
Hal ini yang menyolok mengenai manusia
wajak ini, bahwa jenis manusia ini sudah menunjukkan ketinggian
peradabannya dibanding dengan jenis-jenis manusia yaitu dia sudah
ditanamkan (dikuburkan). [2] Padahal di dalam kehidupan prasejarah masa –
masa berikutnya, sistem penguburan itu baru dikenal sesudah manusia
mengalami proses perkembangan beratus-ratus tahun lamanya yaitu pada
jaman Batu Muda (Neolitikum) yang sudah lama lewatnya dari jaman Es –
Akhir.
Dasar- dasar penguburan adalah erat
sekali dengan kepercayaan yaitu merupakan usaha melindungi roh-roh dari
gangguan alam atau binatang buas. Maka dari itu kalau memang benar Homo
Wajakensis itu sudah mengenal usaha melindungi hidup mereka yaitu
berburu untuk menjamin kelangsungan hidupnya, mendirikan tempat-tempat
tinggal atau berlindung di dalam gua-gua untuk menghindari keganasan
alam dan binatang buas. Dalam hubungan ini tidak mustahil bila gua-gua
yang terdapat di daerah Wajak dahulu juga merupakan tempat tinggal
manusia-manusia seperti Homo Wajakensis itu.
Gua-gua tempat tinggal semacam itu dari
bukti-bukti sejarah terlihat bahwa letaknya tidak jauh dari pantai atau
rawa-rawa. Hal itu wajar karena sewaktu-waktu penghuni gua itu harus
mencari makan berupa kerang atau ikan.
Daerah Wajak relatif tidak jauh dari
rawa-rawa yaitu rawa Bening-Bedalem. Kemungkinan besar memang rawa ini
merupkan rawa yang terjadi semasa dengan terjadinya gunung Gamping di
dekatnya.
Mengenai rawa ini didalam cerita-cerita
rakyat banyak disebut sebut dalam hubungannya dengan daerah wajak dan
daerah sekitarya. Hal ini juga merupkan bukti bahwa sejak lama daerah
ini merupakan daerah penting dan sangat dikenal sehingga secara turun
temurun namanya diabadikan didalam bentuk dongeng atau cerita
rakyat.[3]. Sudah jelas bahwa bentuk Tulungagung Selatan pernah dihuni
oleh manusia-manusia purba yang kemungkinan menjadi nenek moyang
bangsa-bangsa yang masih hidup sampai sekarang. Tetapi ini tidak berarti
bahwa manusia-manusia yang tinggal di daerah ini merupakan
manusia-manusia ke turunan Homo wajakensis. Bangsa Indonesia sekarang
(termasuk penduduk kota Tulungagung) adalah bangsa-bangsa yang nenek
moyangnya berasal dari daerah Yunan didaerah Cina Selatan sebelum pindah
ke Indonesia mereka telah lama tinggal di daerah Indonesia. Sejak ±
tahun 2000 SM barulah mereka berpindah ke Indonesia. Perpindahan ini
tidak sekaligus, melainkan secara berurutan, dan dikatakan pada garis
besarnya perpindahan terjadi dalam dua gelombang. Perpindahan ini
berakhir pada ± tahun 500 SM.
Bangsa ini di Indonesia kemudian menyebar
keberbagai kepulauan di tanah air kita yang berjauhan letaknya.
Akibatnya terjadi perbedaan-perbedaan adat kebiasaannya, kebudayaan dan
bahasanya. Sebab itu lambang negara yang ada semboyannya “Bhineka
Tunggal Ika” tepat sekali untuk menggambarkan keserbaragaman bangsa kita
yang sebenarnya berasal dari nenek moyang yang sama itu.
Suku-suku bangsa yang hidup di Indonesia
ini dibedakan menjadi dua golongan; yaitu suku bangsa Melayu tua (Proto
Melayu) dan suku bangsa Melayu Muda (Deutro Melayu). Termasuk suku
bangsa Melayu Tua antara lain suku Batak Karo (sebagian), Dayak, Toraja.
Sedang yang termasuk suku bangsa Melayu Muda antara lain suku bangsa
Jawa, Madura, Bali, Banjar, dan sebagainya.
Bagaimana persebaran dan perkembangannya
lebih lanjut nenek moyang kita itu di daerah Tulungagung ini, kita tidak
menemukan keterangan-keterangan sedikitpun. Tetapi jelas sisa-sisa
kebudayaan rohaninya, terutama mengenai kepercayaannya, sampai sekarang
masih dapat kita lihat hidup kuat di daerah ini. Sisa-sisa kepercayaan
itu ialah yang disebut dinamisme dan animisme.
Dinanisme yaitu kepercayaan mengenai
adanya kekuatan gaib serta pengaruhnya didalam kehidupan masyarakat,
sedang Animisme yaitu kepercayaan terhadap roh-roh dan peranannya
didalam kehidupan masyarakat.
Sisa-sisa kepercayaan semacam ini tidak
hanya terdapat di daerah Tulungagung saja, tetapi boleh dikatakan masih
hidup kuat didalam masyarakat Indonesia pada umumnya, walaupun wujudnya
sudah merupakan gabungan dengan kebudayaan / kepercayaan baru yang
pernah berpengaruh pada masyarakat Indonesia disepanjang sejarahnya.
Contoh-contoh yang jelas mengenai
sisa-sisa kepercayaan kuno semacam itu yang masih hidup di daerah
Tulungagung, yaitu kepercayaan akan kekuatan gaib yang terdapat pada
pusaka yang berwujud tombak. Tombak ini dikenal dengan nama “Kyai Upas”.
Kini pusaka itu disimpan dan dipelihara dibekas rumah pensiunan salah
seorang Bupati Tulungagung, yaitu di desa Kepatihan.
Pusaka ini menurut kepercayaan masyarakat
Tulungagung umunya dapat menimbulkan malapetaka, banjir, wabah
penyakit, dan sebagainya, bila dipindahkan dari Tulungagung atau kurang
diperhatikan pemeliharaannya.
Kepercayaan terhadap pusaka tersebut
tidak lain berkisar pada kesaktian yang ada pada benda itu. Kesaktian
semacam ini didalam Ilmu Kebudayaan disebut “MANA”.
Suatu benda yang ber “MANA” besar, dapat
mempunyai kekuatan luar biasa, yang dapat menghindarkan mala petaka yang
akan menimpa yang memiliki atau tempat benda itu disimpan.
Didalam Dinanisme ada anggapan bahwa
semua benda, semua bagian anggota badan mengandung MANA. Berkurangnya
bagian-bagian benda atau bagian badan tertentu, menyebabkan berkurangnya
MANA benda atau badan itu sendiri. Dan bila bagian benda / badan yang
berkurangnya itu kemudian berpindah ke benda / badan lain, maka benda
lain itu memperoleh tambahan MANA. Sehubungan dengan kepercayaan inilah
timbul black magic (sihir hitam) seperti jengges, tenung, dan
sebagainya, yang menggunakan bagian-bagian benda / badan yang akan
menjadi sasaran sihir tersebut sebagai alat untuk menjalankan
tujuan-tujuan jahatnya. Disamping itu didalam soal sihir ini tercakup
pula unsur-unsur animisme, karena menurut kepercayaan sihir itu
dijalankan pula dengan bantuan roh-roh halus.
Kepercayaan mengenai sihir ini di daerah
Tulungagung juga masih hidup kuat. Bagi warga kota Tulungagung daerah
yang dikenal sebagai daerah tukang sihir antaranya ialah daerah
Wajak.[4]
Juga erat hubungannya dengan animisme
ialah kepercayaan di Tulungagung yang mempercayai bahwa kota ini dijaga
oleh roh halus yang dikenal dengan sebutan “MBAH DJIGANGDJOJO” dan MBAH
TJLUNTANGDJOJO”.[5]
Hal-hal yang kami ungkapkan di atas tidak
lain adalah bukti-bukti adanya sisa-sisa kebudayaan kuno yang masih
hidup di daerah ini sebagai daerah yang mempunyai sejarah sepanjang
masa.
Next
Oleh: Drs Suprayitno | September 24, 2009
BAB I BUKU BABAD TULUNGAGUNG
BAB I
PENDAHULUAN
Tujuan pokok dari pada tulisan ini adalah untuk mengungkapkan hal-hal yang berhubungan dengan sejarah kota Tulungagung.
Nama kota ini, baik secara jelas
disebut-sebut dengan TULUNGAGUNG, maupun dengan sebutan-sebutan lain
seperti WAJAK, BOYOLANGU, KALANGBRET, dan sebagainya ternyata merupakan
nama yang ikut mengisi lembaran-lembaran sejarah Indonesia sejak zaman
Pra-sejarah sampai zaman baru.
Tetapi mengingat letak geografisnya,
bagaimana sejarah ini dari zaman ke zaman, tidak banyak kita ketahui
dari buku-buku sejarah Indonesia yang banyak beredar ini. Banyak kita
dengar cerita-cerita yang berhubungan dengan kota Tulungagung mengenai
zaman kuno, tetapi cerita-cerita tersebut bukan cerita sejarah dalam
arti yang umum, melainkan cerita yang bersumberkan babad atau cerita
rakyat yang turun temurun.
Dibentuknya Panitia Peneliti Sejarah
Kabupaten Tulungagung oleh Bapak Bupati Kepala Sejarah Kabupaten
Tulungagung yaitu Bapak R. Soenardi, merupakan wujud keinginan warga
kota Tulungagung untuk mengetahui lebih banyak tentang daerah ini. Lagi
pula merupakan langkah maju yang patut kita hargai, sebab betapa
kecilnya nilai ungkapan sejarah yang dihasilkan oleh Panitia nanti, akan
merupakan hasil yang memberi tambahan pengetahuan bagi masyarakat
umumnya dan khususnya bagi warga daerah Tulungagung. Disamping itu kami
yakin, bahwa hasil penyusunan sejarah kota Tulungagung yang dihasilkan
oleh Panitia ini akan menjadi sumbangan bahan-bahan kepada penyelidikan
sejarah Indonesia umumnya atau sekurang-kurangnya akan merupakan
pendorong bagi penyelidik-penyelidik sejarah Indonesia untuk lebih jauh
menyelidiki sejarah daerah demi untuk kelengkapan sejarah Indonesia.
Untuk menyusun sejarah kota Tulungagung
ini Panitia telah berusaha sejauh mungkin menurut kemampuan yang ada,
agar memperoleh bahan-bahan secukupnya. Oleh sebab itu disamping
kepustakaan (literature) yang dapat dikumpulkan, arsip-arsip, dan
sebagainya digunakan pula sumber-sumber berupa cerita-cerita babad dan
cerita-cerita rakyat.
Kami insyaf, mengenai 2 jenis sumber
terakhir tersebut, banyak kelemahan-kelemahannya. Oleh sebab itu dengan
sangat hati-hati kami akan berusaha mengambil kesimpulan-kesimpulan
sejarah (histories) dari sumber-sumber tersebut. Kami yakin bahwa cerita
babad ataupun cerita-cerita rakyat yang sangat bersifat dongeng itu
berisi pula kenyataan-kenyataan sejarah yang dipaparkan dengan wujud
perlambangan atau dalam wujud dongeng yang dibumbui dengan sifat
tuah-sakti dan keanehan-keanehan yang tidak masuk akal menurut pendapat
kita dewasa ini. Cara-cara semacam ini memang umum digunakan
pujangga-pujangga kuno dinegeri kita, penulis-penulis babad atau pelipur
lara. Dengan cara ini tidak berarti bahwa mereka berbuat curang, tidak
mau berterus terang, bahkan sebaliknya mereka berbuat jujur sesuai
dengan kehalusan perasaannya serta hormatnya terhadap seseorang yang
diceritakan atau terhadap kenyataan-kenyataan yang dihadapinya. Oleh
sebab itu sehubungan dengan penafsiran sumber-sumber tersebut kita
berusaha mendalami sejauh mungkin kehalusan perasaan, adat atau
kebiasaan yang termaktub didalam cerita babad atau dongeng-dongeng
tersebut. Sebagai suatu contoh penafsiran dongeng yang mewujudkan adanya
kenyataan sejarah, yaitu yang dikemukakan oleh Muhamad Yamin tentang
asal-usul keturunan Gajah Mada.[1]
Kesimpulan Muhamad Yamin, menyatakan
bahwa sebenarnya Gajah Mada adalah keturunan rakyat jelata, yang menurut
kepercayaan Bali, seperti yang tertulis di dalam kitab Usana Jawa,
Gajah Mada dilahirkan di pulau Bali Agung, yang pada suatu ketika
berpindah ke Mojopahit. Menurut cerita itu Gajah Mada tidak punya
Ibu-Bapak, melainkan berpancar dari buah kelapa sebagai penjelmaan Sang
Hyang Narajana ke atas dunia.
Kita dapat memahami bahwa buah kelapa
adalah buah yang umum dimakan bangsa kita, bahkan sampai sekarang di
desa-desa boleh dikata setiap petak pekarangan terdapat tanaman pohon
kelapa. Jadi jelasnya buah tersebut adalah buah rakyat. Mengapa disini
kelahiran Gajah Mada dilukiskan dari buah kelapa? Kiranya sesuai dengan
yang kami kemukakan di atas bahwa penulis cerita itu terikat oleh
kehalusan perasaan dan rasa hormatnya terhadap persoalan yang dihadapi.
Andaikan penulis cerita itu mengemukakan asal-usul GAJAH MADA berterus
terang berhadapan dengan adat yang masih hidup kuat dewasa itu, yaitu
adat yang sehubungan dengan faham kekastaan, padahal nyata-nyata Gajah
Mada adalah orang yang banyak berjasa terhadap negara, karena itu jalan
yang ditempuh penulis untuk menghindari tantangan adat itu tidak lain
melambangkan kelahiran Gajah Mada dari buah kelapa. Bahkan untuk
menunjukkan sifat-sifat luar biasa yang dimiliki Gajah Mada, penulis
melambangkan bagi yang lahir dari buah kelapa itu merupakan penjelmaan
DEWA, yaitu Sang Hyang Narajana.
Demikianlah beberapa hal yang kami
kemukakan diatas tidak lain merupakan dasar pertanggungan jawab kita
atas penggunaan babad / cerita-cerita rakyat sebagai sumber penyusunan
sejarah kota Tulungagung.
Suatu hal lain yang perlu kami kemukakan
didalam bab ini, yaitu tentang penjamanan (pembagian zaman) sejarah kota
Tulungagung. Disini kami tidak mengemukakan hal baru dalam soal
pembagian zaman itu. Karena maksud utama tidak lain hanya akan meninjau
perkembangan sejarah kota Tulungagung dimana nama kota tersebut disebut
dalam zaman tertentu.
Jelasnya kita berusaha memperoleh keterangan-keterangan sebanyak-banyaknya pada suatu zaman tertentu mengenai daerah tersebut.
Daerah yang sekarang dikenal sebagai kota
Tulungagung, sebenanrya mulai nampak sejarahnya sebagai kesatuan daerah
juga berpemerintahan sendiri paling awal pada pertengahan abat ke 17,
dan pada saat-saat inilah tertanamnya dasar-dasar yang kemudian dapat
memperkembangkan daerah ini menjadi kota yang dikenal sebagai Kabupaten
Tulungagung.
alhamdulillah
BalasHapus